Kamis, 24 Juli 2008

Kesan dan Pengaruh Agama Terhadap Masyarakat Melayu

Agama sangat berpengaruh kepada kehidupan seluruh lapisan masyarakat di muka bumi. Maka para Ahli antropologi tertarik untuk menelitinya. Walaupun kini pada masyarakat kontemporer, agama sering dikaitkan dengan logika, namun terkadang manusia sendiri lupa bahwa agama itu sendiri merupakan adalah suatu hal yang abstrak. Dalam arti kata bahwa hanya penganut dari agama itu sendirilah yang dapat merasakan dimana ia meletakan posisi suatu agama dalam kehidupannya.

Sebagian besar dari penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Dan ada sebagian penduduk Indonesia yang beragama lain. Namun, pada masyarakat melayu mayoritas penduduk beragama Islam. Dan suatu agama sangat berpengaruh yang besar dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Topik inilah yang akan kami bahas dalam petemuan yang terakhir ini.

MASYARAKAT MELAYU

Istilah "Melayu" ditakrifkan oleh UNESCO pada tahun 1972 sebagai suku bangsa Melayu di Semenanjung Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina, dan Madagaskar. Bagaimanapun menurut Perlembagaan Malaysia, istilah "Melayu" hanya merujuk kepada manusia yang berketurunan Melayu yang menganut agama Islam. Dengan kata yang lain, bukan semua orang yang berketurunan daripada nenek moyang Melayu adalah orang Melayu.

Istilah "Melayu" untuk merujuk kepada nama bangsa atau bahasa adalah suatu perkembangan yang agak baru dari segi sejarah, iaitu setelah adanya Kesultanan Melayu Melaka. Walaupun demikian, tidaklah sehingga abad ke-17 bahawa istilah "Melayu" yang merujuk kepada bangsa semakin digunakan secara meluas. Sebelum itu, istilah "Melayu" hanya merujuk kepada keturunan raja Melayu dari Sumatera saja. Menurut Syed Husin Ali yang merupakan ahli antropologi di negara Malaysia, orang Melayu itu dari segi zahirnya, biasanya berkulit sawo matang, berbadan sederhana besar serta tegap dan selalu berlemah lembut serta berbudi bahasa. Dari segi etnologi, Melayu bermakna kelompok masyarakat yang mengamalkan sistem kemasyarakatan dwisisi dan kegenerasian yang termasuk dalam bangsa Mongoloid.

Pemerintah Malaysia mendefinisikan Melayu sebagai penduduk pribumi yang bertutur dalam bahasa Melayu, beragama Islam, dan yang menjalani tradisi dan adat-istiadat Melayu. Tetapi dari segi definisi budaya (cultural definition), Melayu itu merangkumi seluruh penduduk pribumi di Dunia Melayu (Nusantara), yaitu penduduk serumpun tidak kira agama, bahasa, dan adat istiadat masing-masing yang diikuti oleh masing-masing kelompok serumpun tersebut. Di Malaysia, penduduk pribumi dari keturunan Minang, Jawa, Aceh, Bugis, Mandailing, dll, yang bertutur dalam bahasa Melayu, beragama Islam dan mengikuti adat istiadat Melayu, semuanya dianggap sebagai orang Melayu. Bahkan orang bukan pribumi yang berkawin dengan orang Melayu dan memeluk agama Islam juga diterima sebagai orang Melayu. Mereka dikatakan telah "masuk Melayu"
.
Asal usul bangsa Melayu merupakan sesuatu yang sukar ditentukan. Walaupun terdapat beberapa kajian dilakukan untuk menjelaskan perkara ini, tetapi kata sepakat antara para sarjana belum dicapai. Secara amnya terdapat 2 teori mengenai asal-usul bangsa Melayu yaitu:

•Bangsa Melayu Berasal daripada Yunnan (Teori Yunnan)
•Bangsa Melayu Berasal daripada Nusantara (Teori Nusantara)

Masing-masing teori diatas mempunyai pendukung dan kepopulerannya sensdiri-sendiri. Seperti teori Yunan yang di kemukakan oleh R.H Geldern, J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slametmuljana dan juga Asmah Haji Omar. Mereka mengatakan bahwa penduduk Asia Tengah pernah bermigrasi ke Kepulauan Melayu; Bahasa Melayu adalah serumpun dengan bahasa di Kamboja. Dengan lebih lanjut lagi, penduduk di Kamboja mungkin berasal daripada dataran Yunnan dengan menyusuri Sungai Mekong. Hubungan bangsa Melayu dengan bangsa Kamboja sekaligus menandakan pertaliannya dengan dataran Yunan.

Sedangkan pada teori Nusantara tidak terlalu populer di Malaysia. Isi teori ini adalah Bangsa Melayu tidak berasal dari mana-mana akan tetapi dari Nusantara, Manusia kuno Homo Soloinensis dan Homo Wajakensis terdapat di Pulau Jawa. Penemuan manusia kuno ini di Pulau Jawa menunjukkan adanya kemungkinan orang Melayu itu keturunan daripada manusia kuno tersebut yakni berasal daripada Jawa dan mewujudkan tamadun bersendirian. Teori ini di dukung oleh sarjana-sarjana seperti J.Crawfurd, K.Himly, Sutan Takdir Alisjahbana dan juga Gorys Keraf.

PEMIKIRAN MELAYU
Suku melayu tidak hanya terdapat pada bangsa Malaysia saja, namun, sebagian dari wilayah Indonesia, Thailand, Singapur, juga negara lainnya. Terutama negara yang sedang berkembang. Bangsa melayu cenderung berfikir menyerahkan nasib kepada Tuhan, bersikap fatalitas, mengharapkan orang lain yang akan membetulkan nasib, bergantung kepada orang lain.
Sebagai manusia biasa masyarakat melayu juga memiliki sifat yang tidak baik. Pada hekikatnya masyarakat melayu menginginkan kehidupan yang sejahtera, lepas dari pengaruh kebudayaan barat, teknologi yang maju, juga ekonomi yang tidak terpuruk. Namun, keburukan dari bangsa ini, terkadang mereka juga berfikir terlalu egois, mendahulukan kepentingan pribadi, tidak bersikap saling terbuka. Malahan ada yang menyebutkan bangsa Melayu mempunyai tragedi dalam pemikirannya yakni, tidak sanggup berubah (cepat putus asa), tidak suka merencanakan sesuatu dengan matang, dan tidak mau berfikir secara mendalam (serius).

Ini adalah sebuah kendala yang besar untuk memajukan bangsa melayu, maka dibutuhkan sebuah kepercayaan antar sesama individu juga perbaikan moril dari adanya suatu agama.

AGAMA PADA MASYARAKAT MELAYU
Orang Melayu hampir seluruhnya beragama Islam. Namun demikian, sisa-sisa unsur agama Hindu dan animisme masih dapat dilihat dalam sistem kepercayaan mereka. Islam tidak dapat menghapuskan seluruh unsur kepercayaan tersebut. Proses sinkretisme terjadi di mana unsur kepercayaan sebelum Islam ada secara laten atau disesuaikan dengan unsur Islam. Proses ini jelas dapat ditemukan dalam ilmu perbomohan Melayu (pengobatan tradisional), dan dalam beberapa upacara adat. 

Karena mayoritas masyarakat melayu menganut ajaran Islam, maka ajaran-ajaran Islam terkadang mewarnai aktifitas-aktifitas sehari-hari mereka. Teori Durkheim mengatakan agama memperkuat ikatan atau solodaritas sosial. Dengan ini dapat dikatakan bahwa agama sangatlah berpengaruh kepada pola pikir, ucapan, dan juga perilaku masyarakat yang menganutnya.

Ajaran agama, terutama agama Islam sangatlah menjunjung tinggi sikap kemanusiaan. Saling mengasihi, toleransi beragama dan hal baik lainnya. Maka ini berpengaruh juga pada pemikiran masyarakat Melayu. Penelitian antropologi dengan perspektif Islam pada ruang lingkup keluarga mendatangkan bukti yang jelas, bahwa Islam adalah grand theory yang paling objektif, yang lebih teruji dari teori-teori manusia. Apabila teori Islam ini tidak bukti objektif, yang salah bukanlah ajaran Islamnya, namun cara mereka memahami dan mengamalkan Islam itu, dan perlu dilakukan penelitian baru tentang bagaimana pemahaman dan pengamalan mereka terhadap ajaran Islam dalam masalah yang teliti. 

Dalam kitab suci Islam yakni Al-Qur’an, banyak ilmu pengetahuan yang perlu digali lebih dalam, dan dijadikan pedoman dalam perjuangan untuk memartabatkan bangsa sebagai bangsa yang maju dan berperadaban tinggi di era globalisasinya. Maka jelas sekali bahwa agama sangat berpengaruh kepada pola pikir bangsa Melayu, terlebih untuk mensejahterakan Bangsanya.
__________________________________________________________________________________
Daftar Pustaka
 Agus, Bustanuddin. “Agama Dalam Kehidupan Manusia Pengantar Antropologi Agama”, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta: 2006.
 http://id.wikipedia.org
 http://mindarakyat_2.tripod.com
 http://ms.wikipedia.org
 http://www.cmm.or.id

Sabtu, 19 Juli 2008

REFLEKSI SEABAD MOHAMMAD NATSIR
PEMIKIRAN DAKWAH POLITIK MOHAMMAD NATSIR”

Oleh: Sirajuddin Arridho

Menurut Mohammad Natsir, di dalam perjuangan politik selain harus ada prinsip yang harus dipegang teguh terdapat ruang untuk berkompromi yang didasarkan atas saling memberi dan menerima. Menurutnya, orang harus pandai-pandai menimbang-nimbang sesuatu, dan adanya keanekaragaman merupakan bagian dari sunnatullah. Natsir kemudian berpandangan bahwa adanya kemajemukan dari segi etnis, agama maupun aliran politik tidak menghalangi orang untuk saling bekerjasama dengan harmonis atas dasar kepentingan yang sama.

Namun keberadaan masyarakat yang majemuk memerlukan kalamatun sawa (titik temu yang sama). Sehingga di dalam politik memerlukan kehalusan ”keindahan” tersendiri, yang menurut Natsir: ”Kita harus mencapai sasaran tanpa lawan-lawan merasa terkalahkan, politik haruslah ditundukkan kepada etika yang tinggi. Dengan cara itu, keinginan untuk berkuasa sendiri dan menghabisi orang-orang yang tidak sepaham dengan menghalalkan cara dapat dihindari”.

Oleh karena itu, di dalam praksis perjuangan politik Mohammad Natsir selama hidupnya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran luhurnya itu. Ketika menjabat Menteri Penerangan, Perdana Menteri Republik Indonesia maupun ketika menjabat ketua umum Partai Politik Islam Masyumi, sikap dan perilakunya berbanding lurus dengan apa yang diyakininya itu.


Didasarkan atas pemikiran bahwa Islam tidak semata-mata agama, tetapi yang demikian itu juga sebagai pandangan hidup didalam aktifitas sosial-politik dan kebudayaan, terhadap apa yang telah dilakukannya telah memberikan inisiatif untuk berusaha, dan membuat inisiatif keduniaan yang memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Oleh karenanya, percikan luhur pemikiran dan sikap serta teladan Mohammad Natsir mengandung nilai-nilai filosofis dakwah. Yang demikian itu, sebagaimana di dalam praksisnya, terwujud di dalam sikap dan perilaku politik ”seorang tokoh” Mohammad Natsir.

Namun banyak di kalangan generasi muda Islam saat ini tidak banyak mengetahui pemikiran dan sikap-teladan Mohammad Natsir. Untuk itu, Pemikiran Dakwah Politik Mohammad Natsir”. Diharapkan bagi generasi muda Islam dapat lebih mengenal pemikiran dan mengetahui sikap-teladan Mohammad Natsir sehingga menjadi salah satu bekal mereka di dalam mengisi kemerdekaan.

Senin, 07 Juli 2008

KEBENARAN DALAM ILMU KOMUNIKASI

Hakikat Kebenaran.

Pengertian tentang kebenaran begitu sangat beragam, karena kebenaran menurut setiap individu tentunya berbeda-beda, namun kebenaran dalam hal ini dapat di bagi menjadi tiga bagian, adalah kebenaran yang bersifat ilmiah, non ilmiah dan kebenaran yang bersifat filsafat.

Bagi kalangan masyarakat modern, sesuatu hal dianggap benar jika itu terbukti adanya, atau ilmiah. Namun sesuatu hal yang non ilmiah pun dapat dikatakan benar pula. Untuk melihat kebenaran – kebenaran yang ada didalamnya, mari kita bahas satu persatu perihal mengenai kebenaran tersebut.

· Kebenaran Ilmiah.

Kebenaran ilmiah biasa ditempuh secara mendalam melalui penelitian dan penalaran logika yang memang dapat dipertanggungjawabkan kepada khalayak banyak. Kebenaran ilmiah terbagi menjaditiga bagian, ialah;

Kebenaran pragmatis: kebenaran dianggap syah jika memiliki kegunaan atau manfaat praktis dan bersifat fungsional bagi kehidupan sehari-hari. Dalam arti, kebenaran berlaku jika dapat memudahkan orang dalam melakukan pekerjaan sehari-harinya.

Kebenaran Koresponden: suatu pernyataan dianggap benar apabila materi pengatahuan yang terkandung didalamnya memiliki korespondensi dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Metode yang digunakan dalam teori ini bersifat induktif atau bertolak dari hal-hal yang khusu ke umum”

Kebenaran Koheren: sesuatu pernyataan diangap benar jika pernyataan itu konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Metode yang digunakan dalam teori ini menggunakan teori deduktif atau “bertolak dari hal-hal umum ke khusus”

2. Kebenaran Non Ilmiah

· Kebenaran non Ilmiah, adalah kebenaran yang yang didapat bukan berdasarkan penalaran logika, artinya, setiap orang dapat melukakannya tanpa memlalui proses berfikir terlebih dahulu. Ada beberapa bentuk dari teri non ilmiah ini, antara lain:

Kebenaran secara kebetulan, adalah yang didapatkan seseorang secara reflek, dan tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, tidak rasional.

Kebenaran Agama dan Wahyu; adalah sebuah kebenaran yang tidak semuanya dapat dimengerti dengan akal namun terbukti adanya, kebenaran seperti ini sering ditemui dalam kitab-kitab agama samawi misalnya. Kebenaran ini pun lebih terikat pada keyakinan seseorang.

Kebenaran intuitif; adalah kebenaran yang sulit untuk dibuktikan, menurut keterangan, kebenaran seperti ini hanya di miliki oleh orang-orang yang telah lama bergelut di dalam suatu bidang dan mempunyai pengalaman yang banyak pada bidang tersebut.

Kebenaran spekulatif; adalah kebenaran yang diperoleh dari hasil pemikiran, menghasilkan sebuah pertimbangan, proses berfikir yang kurang mendalam, namun dikerjakan dengan pennuh resiko, relatif labih cepat dan dengan biaya lebih murah dari pada trial eror adalah sebuah ciri kebenaran ini

3. Kebenaran Dalam Perspektif ILMU KOMUNIKASI.

Kebenaran dalam perspektif ilmu komunikasi bila dilihat secara teoritis, maka akan masuk kedalam pembahasan ontologi dan epistemologi, diantara perspektif tersebut adalah:

· Kebenaran Realisme

Kebenaran bagi penganut realisme adalah kebenaran yang bersandarkan pada kenyataan dan nilai-nilai empirisme, konsekuensi dari pemahaman ini adalah nilai, kepercayaan, emosi dan apapun yang diamati oelh subjek pengamat dilarang untuk terlibat ketika mengamati sesuatu. Sebagai contoh, jika seekor “merpati berwarna cokelat” adalah benar berwarna cokelat, maka itulah kebenaran.

· Kebenaran Nominalis.

Paham ini menganggap semua yang ada di bumi ini adalah kosong, karena semua yang ada hanya nama atau label entitas yang dibuat individu, secara epistemologis, semua yang ada bersifat relatifitas sujektif.

· Kebenaran konstruktif

Paham ini menjadikan pengatahuan yang terkostruktif untuk digunakan dalam menghadapi sebuah fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengatahuan tersebut.

Kebenaran dalam Perspektif Etika Komunikasi

Di dalam perspektif ilmu komunikasi, apabila terjadi penilaian terhadap sesuatu, maka hal tersebut diserahkan kepada pelakunya yang tentunya sebagai objek komunikasi.

Menurut Richard L. Johansen, ada beberapa standar dasar etika komunikasi yang dapat dijadikan penilaian terhadap sebuah kebenaran, yaitu;

· Kebenaran Dalam Perspektif Sifat Kemanusiaan.

Kelebihan dan keunikan dari setiap manusia, adalah sebuah proses berfikir dalam memilih kebaikan dan keburukan, mampu membuat dan merancang suatu ide yang cemerlang dalam mencapai sebuah karya yang gemilang demi kelancaran hidup manusia. Sifat-sifat kemanusia yang harga-menghargai, menghormati gagasan, perasaan, integritas seseorang dan memiliki sifat keterbukaan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan rasional dalam berkomunikasi.

· Kebenaran dalam perspektif komunikasi dua arah yang bersifat dialogis.

Kebenaran dapat dicapai dengan melakukan diaolog antara satu dengan yang lainnya, dengan dialog, akan menumbuhkan kesepahaman dan ikatan emosioanl serta keterbukaan antara sesama. Menumbuhkan sikap tanggungjawab antar sesama.

5. Kebenaran Sebagai Inti Manusia Komunikasi.

Manusia adalah ladang dari semua kesalahan, namun manusia yang berfikir dan mampu merasakan, tentunya akan lebih mudah mengambil sebuah pelajaran dari apa yang telah dirasakan dari kegagalan sebelumnya. Setiap Manusia di tuntut untuk mencari kebenaran, walaupun kebenaran itu bersifat relatif, namun semua itu bisa saja disepakati, jika metode yang digunakan dalam berkomunikasi memanga layak untuk dipercaya.

Dengan sebuah kebenaran, manusia akan mendapatkan jalan hidupnya, bersikap konsisten dengan apa yang telah didapatkan dan diyakini adalah keniscayaan, terkadang manusia bersifat egois (sombong) dengan kebenarannya itu, tanpa menyadari akan kebenaran-kebenaran lain yang ada disekitarnya, semua itu adalah ujian bagi setiap manusia yang menyadari bahwa kita hidup dalam relitas masyarakat yang plural baik dari segi agama, budaya dan bangsa. Disinilah konsep hidup fastabiqul khairat diterapkan.

Fundamentalisme & Sekulerisme

Belakangan ini, masyarakat dunia dikagetkan dengan peristiwa-peristiwa kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Agama yang sebelumnya diyakini sebagai pembawa kedamaian justru menjadi pemicu malapetaka. Hal ini terjadi, terutama, karena pandangan keberagamaan yang semakin menyempit. Para pemeluk agama tidak lagi menempatkan agama sebagai instrumen bagi sikap dan perilaku terbuka, malah dijadikan semacam kurungan yang sempit dan ekslusif.
Apa-apa yang menyangkut agama maka ikutilah aku sedangkan apa-apa yang menyangkut dunia maka kaulah yang lebih tau. Apakah ini pernyataan yang berarti sekularisme, ada pemisahan antara agama dalam kehidupan publik? lalu bagaimana dengan fundamentalisme?
Fundamentalisme yang dimaksud tidak hanya terjadi dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam tetapi di seluruh agama-agama “formal” dunia. Fundamentalisme agama adalah keinginan kuat kembali ke ajaran fundamental agama, dan upaya mempertahankan serta menegakkan kembali “duplikasi sejarah” pada kondisi saat ini.
Ada beberapa teori tentang fundamental dan sekuler. Kalaulah kita mengambil teori ortodoksy yaitu ajaran untuk mengembalikan prinsif-prinsif yang lama, dengan teori ini akan melahirkan fundamentalisme. Sedangkan kalau merujuk pada protestanism maka ajaran ini lebih condong melahirkan revolusi industri modern dan menolak berbagai TBC.
Diharamkannya pluralisme, liberalisme, dan terutama sekularisme menunjukkan kuatnya monopoli wacana revivalisme Islam khususnya di Indonesia. Untuk itu, kiranya dibutuhkan pemikiran Islam yang lebih berani, progresif dan maju. Model pemikiran seperti ini penting bukan saja untuk meruntuhkan hegemoni wacana fundamentalisme Islam tersebut, melainkan juga untuk mendobrak kejumudan berpikir umat agar mau bergerak maju dan prihatin terhadap keterbelakangannya selama ini, terutama dibandingkan dengan masyarakat modern barat.
Sekularisme sepadan dengan kata “pembebasan” (liberation). Maksudnya, sekuler adalah pembebasan umat Islam dari ikatan-ikatan ajaran agama yang bukan bersifat mendasar (ushuly), bersifat relatif, dan merupakan produk pemahaman atau ijtihad ulama masa lalu. Dan tidak menjadikan agama sebagai orientasi politik. Cak Nur juga melihat sekularisasi sebagai upaya untuk menanggalkan nilai-nilai yang berorientasi ke masa lampau dan mencari nilai-nilai yang lebih berorientasi kepada masa depan. Namun yang terjadi pada sekularisme, melahirkan konsep liberalisme juga sering dipahami “libertianisme”: kebebasan tanpa batas dan aturan.
Adapun metode yang penulis pakai ialah metode deskriftif, pengumpulan data terbaru dari berbagai buku, artikel, dan opini. Sehingga penulis mencoba mengkolaborasikan data-data tersebut. Oleh karena itu, penulis mencoba memaparkan antara sekularisme dan fundamentalisme.
Islam sebagai esensi akan terus bersemayam dalam batin manusia yang selalu pasrah, patuh, dan sadar akan kehadiran Tuhan. Namun, yang lebih populer adalah agama sebagai sistem yang mengandung ajaran-ajaran formalistik. Sehingga tidak mengherankan kalau bermunculan upaya melegalkan hukum Islam, yang pada dasarnya semacam imperialisme teologi. Imperialisme ini adalah ekspansi dan monopoli kebenaran teologis. Dan melahirkasn egoisme teologis antar kelompok.
A. Fundamentalisme
Dalam The shorter Oxford English Dictionary dijelaskan bahwa fundamentalisme dimaknai sebagai kepatuhan yang keras kepada ajaran ortodoks, dalam Kristen dimaknai kepatuhan kepada injil secara lìteral, yang menjadi dasar (fundamen) kepercayaan Nasrani, dan menentang terhadap leberalisme dan modernisme.
Sebagai istilah yang diproduksi dalam tradisi barat, maka istilah ini tidak cukup populer dalam tradisi Islam. Dalam Islam, fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-UshuIiyyah al-Islamiyyah (fundamentalisme Islam ), al salafìyah (warisan leluhur), al-Sahwah al Islamiyah (kebangkitan Islam ), al-Ihya al Islami (bangunnya kembali Islam), al Badil al Islami (alternatìf Islam). Dengan demikian secara umum fundamentalisme bisa dimaknai sebagai paham untuk kembali kepada sesuatu yang dipandang sebagai pokok, dasar, dan asas. Ketiga hal inilah yang dianggap sebagai sesuatu yang murni dan benar sehingga perlu dipertahankan mati-matian dari segala sesuatu yang bisa mengurangi predikat murni dan benar tersebut. Paham yang murni dan pokok tersebut hanya bisa dicari dari teks-teks literal suci. Upaya mempertahankan kemurnian tersebut kemudian dipahamì sebagai mempertahankan agama ìtu sendiri. Dengan keyakinan semacam itu pula, peran pendukung kelompok ini meyakìni bahwa perjuangan mereka tidakiah sia-sia dan meruapakan bagian dari jihad, dalam Islam, atau holy war, dalam Kristen. Kalaupun mereka kalah dalam perjuangan di dunia, maka di akhirat mereka akan mendapatkan jaminan kemuliaan di sisi Tuhan[1].
Kata fundamentalisme bila dìkaitkan dengan Islam, hingga kini masih problematic. Banyak kalangan Islam yang menolak istilah tersebut, bukan saja karena fundamentalisme berasal dari tradisi kristiani tetapi lebih dari itu, fundamentalisme yang dialamatkan kepada sebagian umat Islam dianggap sebagai konspirasi "barat" untuk menyeret Islam dalam lumpur sejarah.
Fundamentalisme kini bukan lagi sekedar kategori sosiologis pemeluk agama, tetapi di dalamnya terdapat muatan ideology yang menyiratkan kebencian, cemoohan, dan ejekan kepada sebagian umat Islam. Fundamentalisme sengaja dìciptakan untuk menghadang kemajuan Islam yang dianggap akan menjadi ancaman bagi barat pasca keruntuhan komunisme.
Sebagai tema sosiologis "Fundamentalisme" pada dasarnya merupakan istilah netral yang pada saat tertentu bisa dimaknai positIf ataupun negatif. Fundamentalisme dimaknai positif dalam arti bahwa istilah tersebut menunjukkan kelompok yang teguh memegang keyakinannya tentang kebenaran.[2] Sedangkan makna negatìf terletak pada kesulitan kelompok tersebut untuk melakukan akselarasi gagasan, negosiasi dan resistensi dengan kelompok lain yang dianggap sebagai lawan. Karena itu orang luar memandang bahwa kelompok "Fundamentalis" sebagai kelompok yang kaku dan tak kenal kompromi, meskipun asumsi seperti ini tidak selamanya benar.
Fundamentalisme dalam pengertian yang sangat elementer berkaitan dengan teks suci agama ini, sebenarnya bisa juga dialamatkan pada paham yang terdapat dalam Islam. Dalam pandangan mainstrem umat Islam, AI-Qur-an merupakan teks yang tertutup, sakral, tak boleh dikritik. Karena huruf-hurufriya diyakini sebagai wahyu yang sudah selesai. Dalam konteks inilah, Bernard Lewis menyebutkan, sejauh berkaitan dengan teks suci, pada dasarnya kaum muslim bersifat fundamentalistik. Tidak sebagaimana fundamentalis Kristen, kaum fundamentalis Islam tidak hanya menyandarkan kepada teks AI-Qur-an , tetapi juga kepada hadits-hadits nabi dan kumpulan ajaran teologis serta hukum yang diwariskan kepadanya. Tujuannya adalah menghapus segala aturan, norma sosial dan ketentuan yang dianggap tidak asli dari Islam dan yang telah terpengaruh arus modernisasi serta menggantinya dengan syariat Islam yang kaffah.
Ciri fundamentalisme, dikemukakan Fouad Ajami, yaitu kecenderungannya untuk “menafikan pluralisme”. Bagi kaum Fundamentalis, di dunia ini hanya ada dua jenis masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh Sayyid Qutbh sebagai al-nidham al-Islami (tatanan sosial yang Islami) dan al-nidham al-jahili (tatanan sosial jahiliah). Antara kedua jenis masyarakat itu tidak mungkin ada titik temu. Karena, yang satu adalah haqq (benar) dan bersifat ilahiyah (ketuhanan), sedang yang lain adalah bathil (sesat) dan bersifat thaghut (berhala). Konsekuensi dari pandangan ini ialah, kaum fundamentalis cenderung untuk menolak eksistensi “bangsa-bangsa” berdasarkan perbedaan geografis, bahasa, warna kulit dan budaya. Kaum fundamentalis cenderung menggolongkan manusia hanya berdasarkan agama atau kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya.
Akhirnya, kerangka yang diberikan oleh Marty, dengan beberapa kodifikasi, cukup relevan diterapkan dalam mengidentifikasi gejala “fundamentalisme Islam”. Prinsip pertama fundamentalisme adalah “oppositionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan –yang bukannya tak sering bersifat radikal—terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, apakah dalam tata nilai Barat pada umumnya. Acuan dan tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme Islam adalah al-Qur’an, dan pada batas tertentu al-Hadits.
Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika. Artinya, mereka menolak sikap kritis (liberal) terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal—sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam “kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.
Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai “as it should be” bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya—kalau perlu secara kekerasan—dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat “ideal”—bagi kaum fundamentalis Islam seperti pada kaum salaf—yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.
B. Sekularisme
Ada kalanya “manusia bertuhan” tidak meyakini agama sebagai aturan hidup, sehingga menjadi seorang deis atau sekularis. Namun ada kalanya “manusia bertuhan” melanjutkan perjalanannya intelektualnya dan menjadi “manusia beragama”.
Pandangan yang menolak peran Tuhan dalam kehidupan manusia adalah deisme (faith without religion). Seorang deis meyakini eksistensi bahkan keesaan Tuhan, tapi menolak peran Tuhan sebagai Pengatur. Deisme meyakini keberadaan Tuhan namun menolak aturan dan agama dari Tuhan, menolak perwahyuan, bahkan menolak mukjizat-mukjizat Tuhan. Deisme merupakan arus penolakan terhadap agama yang memiliki akar sejarah di dunia Barat. Ia telah berkembang pesat terutama sejak era pencerahan aufklarung dan renaissance dan revolusi industri di Inggris.
Sedangkan Sekularisme adalah pandangan yang meyakini adanya aturan Tuhan yang berlaku atas hamba-hambanya namun hanya terbatas pada aspek ritual yang sering juga disebut aspek vertikal. Dasar filsofis sekularisme adalah eksistensialisme Sartre, dan rasionalisme Descartes dan Pragamatisme William James, bahkan lebih jauh adalah anti metafisika Russell. Sekularisme telah dikenal sebagai aliran yang memisahkan fungsi agama dan kehidupan sosial politik.Istilah "deisme" muncul di Inggris menjelang pertengahan abad ke-6.
Sekularisme sebetulnya adalah sebuah istilah netral untuk merujuk konsep tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.
Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang sangat efektif, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapi juga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.[3] Sebuah demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme secara benar.
Namun, sejauh ini trend penolakan terhadap agama masih tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikan, bahkan ada indikasi nyata bahwa dunia Barat, yang semula merupakan simbol sekularisme sejak masa pencerahan dan sebagai akibat langsung Revolusi Industri, mulai gemar dan mencita-citakan kehadiran agama formal dengan ritus-ritus dan ajarannya yang teduh dan mampu membendung kerusakan sosial. "Jalan ketiga" yang dilontarkan oleh Antony Gidens dan diterapkan oleh Tony Blair, PM Inggris; atau munculnya sekte Kristen radikal pimpinan David Koresh di sebuah kota timur Waco, Texas, Amerika Serikat yang melakukan penyerbuan dan pembunuhan pada 19 April 1993; atau semaraknya studi tentang Buddhisme di Barat merupakan salah satu dari fenomena itu.[4] Gejala kultus yang merupakan salah satu ciri khas agama formal kini muncul di Amerika. Konon lebih dari 1000 kelompok fundamentalisme, yang gejala-gejalanya jelas mengarah kepada kultus. Termasuk peristiwa bunuh diri massal pengikut kultus People's Temple pimpinan James Jones pada tahun 1978 di sebuah hutan belantara Jones Town, Guyana, Amerika Serikat, yang diyakini sebagai “kiamat kecil”.
Penolakan terhadap agama memiliki akar historis dalam masyarakat manusia, terutama masyarakat Eropa. Trauma terhadap kesewenang-wenangan para tokoh agama yang memaksakan kehendak dengan kedok agama, telah menciptakan sebuah gerakan penolakan terhadap agama secara frontal dan radikal pada abad 18 dan 19 Masehi. Tibanya era pencerahan yang ditandai dengan revolusi Perancis dan revolusi Industri di Inggris telah menimbulkan kesan traumatik dan negatif terhadap agama secara keseluruhan. Pada gilirannya, muncullah sejumlah mazhab pemikiran dan filsafat dan berkembanglah sains dan teknologi secara pesat. Para penggagas dan penyumbang bibit sekularisme dalam Kristen banyak sekali, antara lain Dante (1469- 1527) dan Martin Luther (1483 - 1546),
Montesque, Voltaire, Rousseu mengajak manusia untuk meninggalkan agama wahyu. Bukankah Nietzche mengumukan "kematian Tuhan" sebagai usaha menyelamatkan manusia, Marx menganggap agama sebagai candu, demi menghapus eksploitasi kaum kapitalis, Comte menganggap agama sebagai bagian dari periode masa mitos dan folklor atau era sesudahnya, metafisika.
Salah satu wacana sekularisme adalah “desakralisasi”. Masyarakat dan individu sekular mengabaikan dan tidak meyakini adanya sesuatu yang sakral, padahal keyakinan akan sesuatu yang sakral merupakan titik kesamaan semua agama. Istilah “sakral” adalah ungkapan tentang kehormatan dan nilai spiritual di hadapan segala sesuatu yang hanya mengandung nilai material, seperti masjid, gereja, kuil dan tempat-tempat peribadatan agama lainnya dibandingkan dengan hotel, pertokoan, dan sejenisnya.
Tapi, yang perlu dipertanyakan ialah apakah Sekularisme juga problema yang muncul secara determinan dalam Islam atau masyarakat Islam? Kalau memang ya, kenapa harus bertaqiyah untuk menyatakan diri sebagai sekularis.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik. Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan "wisdom" yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. "Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan" (Q: Al Baqarah/176). Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama bera¬bad abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik. Mencoba memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur mungkin dapat membantu kita keluar dari cara pikir dokotomis yang naif. Pertama, dalam konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian konflik antara otoritas lembaga negara di satu pihak versus otoritas lembaga agama dalam tubuh Gereja di lain pihak. Dalam Islam, otoritas keagamaan seperti gereja, lebih lebih gereja abad per¬tengahan yang monolitik dan sentralistik, tidak diketemukan.
Bukan tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam otoritas itu terdesentralisasi sedemikian rupa pada pribadi pribadi tokoh (ulama) atau pada organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama lain bisa berbeda fatwa atau bahkan saling menolak. Oleh sebab itu tidak pernah bisa dikatakan bahwa ada satu masa dalam sejarah Islam dimana negara (sultan) sepenuhnya berhadapan dengan otoritas agama (ulama); Juga tidak pernah terjadi sebaliknya, otoritas agama sepenuhnya ditaklukkan oleh otoritas negara. Kedua, dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang beralasan. Pada waktu itu, agama (baca: Gere¬ja) telah menjadi instrumen dominatif bagi elite politik maupun ekonomi untuk mempertahankan previlagenya. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan watak profetiknya sebagai pembela masyarakat, khususnya petani dan buruh yang tertindas.
Itulah sebabnya hubungan agama negara dalam abad modern di Timur umumnya dan di dunia Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada pengalaman Barat dan dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme itu. Tapi jangan salah. Dengan mengatakan begitu bukan berarti sekularisme musti kita tolak mentah dan kita kembali ke teokratisme, seperti usul kaum revivalis-fundamentalis. Kita tahu bahwa dalam teokratisme, secara formal negara ditaklukkan pada kepentingan agama, padahal kenyataannya ia ditaklukkan pada kepentingan elitenya belaka.
Jika di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam Islam? Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda.[5]
Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyaki¬nan keyakinan seperti ini adalah perkara yang benar benar pribadi; apa yang diyakini sesama muslim tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya.
Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, pusa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al ahwal al syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak borhak mengerahkan polisi untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi negara atau pemerintah yang selama ini terjadi dalam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu perni¬kahan, adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri.
Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi hukum agama terhadap hukum negara.
Itulah kiranya yang bisa penulis sajikan, tak ada kata yang tak terlupakan selain kata ma’af, karena penulis pikir dalam tulisan ini kurang sempurna. Namun dibalik itu, penulis mencoba memberikan yang terbaik untuk tugas ini. 

Daftar Pustaka
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 109.
M. Dawam Raharjo. Sekularisme dan ,pluralisme.. Buletin kebebasan
Tarmidzi Taher, “Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam”, dalam buku Radikalisme Agama, (Jakarta:PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h. 31-32.
Artikel, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, ... h. 18.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 112.
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Austin: University of Texas, 1982), h. 84

[1] Artikel, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, ... h. 18.
[2] Ibid
[3] M. Dawam Raharjo. Sekularisme dan ,pluralisme.. Buletin kebebasan. Hal.2
[4] Ibid
[5] Tarmidzi Taher, “Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam”, dalam buku Radikalisme Agama, (Jakarta:PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h. 31-32.