Sabtu, 24 Desember 2011

Dinamika Mazhab Frankfurt dan Chicago

Di saat teknologi komunikasi massa mulai berkembangan sangat pesat pada tahun 1960-an timbul berbagai perbedaan pendapat mengenai efek komunikasi masa di kalangan para tokoh-tokoh atau pakar-pakar ilmu komunikasi yang di sebut mazhab atau aliran. Terdapat dua mazhab yang berbeda pendapat mengenai efek tersebut, yaitu mazhab Frankfurt dan Mazhab Chicago.
Mazhab Frankfurt adalah Mazhab atau aliran yang berasal dari negara Jerman. Mazhab Franfurt dengan tokoh-tokohnya Th. Adorno, M. Horkheimer, W. Benjamin, P. Lazarsfeld, dan M. Marcuce dari Institut Frankfurt untuk penelitian sosial, penelitiannya dinamakan penelitian kritik (critical research) yang menampilkan teori komunikasi kritik.
Yang dijadikan objek studi adalah peranan media massa dalam kehidupan modern dengan filosofi kritik dalam bentuk lain terhadap kritik Karl Marx. Bukan saja determinisme ekonomi yang ditentangnya, tetapi juga positivisme empirik.
Teori komunikasi kritik muncul ketika terjadi aksi-aksi mahasiswa di Eropa Barat pada tahun 1960-an khususnya di Jerman pada tahun 1967 yang menuntut demokratisasi universitas. Aksi-aksi itu kemudian dilancarkan juga kepada media massa yang dianggapnya tidak memperdulikan ketertiban, hukum, tidak mengindahkan hakikat hasrat politik para mahasiswa, terutama pada media cetak.
Teori komunikasi kritik itu semakin semarak, setelah muncul Jurgen Hubermas. Hubermas dikenal sebagai filsuf masa kini tentang kritisnya terhadap pemikiran Marxis. Dalam hubungan ini sebagai pengganti paradigma kerja, Habermas mengacu kepada paradigma komunikasi.
Implikasi dari paradigma baru ini adalah memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Hal ini bertolak belakang dengan teori-teori Marxis klasik yang menempuh jalan revolusioner untuk menjungkirbalikan struktur masyarakat demi terciptanya masyarakat sosialis yang dicita-citakan. Habermas menempuh jalan konsensus dengan sasaran terciptanya ”demokrasi radikal”, yaitu hubungan-hubungan soisal yang terjadi dalam lingkup komunikasi bebas kekuasaan.
Dampak Teori Komunikasi Kritik terhadap perkembangan ilmu komunikasi ialah timbulnya kesadaran bahwa komunikasi massa dan media massa harus dipelajari secara konteks sosial agar dapat diperoleh latar belakang historis – ekonomis – politik bagi fenomena komunikasi massa.
Mazhab Chicago adalah Mazhab atau aliran yang bewrasal dari Amerika Serikat. Mazhab Chicago tokoh-tokohnya Robert5 Ezra Park, Harold D. Lasswell, Bernard Berelson, Robert K. Merton, Daniel Lener, Ithiel Da Sola Pool, Wilbur Schramm, Charles Wright, David Berlo, dan lain-lain.
Mazhab Chicago dengan positivisme empirik menitikberatkan penelitiannya pada pemecahan masalah kriminal, prostitusi, dan masalah-masalah lainnya yang timbul akibat industrialisasi dan urbanisasi yang berlangsung sangat cepat di Amerika.
Pada masa puncaknya kejayaan Mazhab Chicago, penelitian komunikasi banyak dilakukan dengan metode kuantitatif, antara lain sebagai akibat dari pendanaan yang disediakan oleh sponsor. Sebagai konsekuensinya, penelitian yang semula merupakan kegiatan kreatif perorangan menjadi pekerja secara borongan. Penelitan banyak dilakukan terhadap persuasi, propaganda, dan efek langsung dari media massa pada khalayak. Penelitian komunikasi dengan penekanan pada efek langsung itu, merupakan pengaruh model linear dari Shannon dan Weaver.
Aliran tersebut menyadari bahwa media komunikasi memiliki keperkasaan dalam mempengaruhi masyarakat. Oleh karena itu media massa perlu melakukan penyempurnaan secara sinambung agar acaranya, pengolahannya, penyajiannya, dan penyebarannya menjadi lebih efektif dan efisien.
Penelitian yang dikembangkan oleh Mazhab Chicago dijuluki penelitian administratif (administrative research), yakni penelitian berdasarkan jasa. Karena disponsori atau didanai maka masalah yang diteliti tidak ditentukan oleh si peneliti sendiri, melainkan oleh sponsor yang memesannya.
Jika kita bandingkan aliran empirik ini dengan Mazhab Frankfurt yang beraliran kritik, tampak bahwa apabila aliran empirik menekankan pada efek komunikasi pada khalayak dengan melakukan analisis isi (content analysis) dalam rangka menarik kesimpulan tentang efek komunikasi, maka aliran kritik pada pengawasan sistem komunikasi. Jadi, jika aliran kritik melakukan analisis isi, tujuannya adalah untuk mengambil kesimpulan tentang lembaga media massa yang menyebarkan pesan komunikasi, bukan untuk mengetahui efek komunikasi.
Kritik Mazhab Frankfurt terhadap Mazhab Chicago, antara lain menyatakan bahwa penelitian komunikasi massa yang positivistik empirik oleh Mazhab Chicago yang tidak menggunakan teori sosial secara umum tidak dapat mengkaji fenomena-fenomena komunikasi massa.

Perspektif Mekanistik
Sejak ilmu sosial berusaha masuk ke dalam masyarakat ilmu yang ilmiah itu, maka langkah pertama yang logis adalah meniru panduan teoritis dan metodologis dari ilmu fisika. Fisika yang dominan pada beberapa abad merupakan perspektif mekanistik, umumnya dikenal pada waktu sekarang sebagai zaman ”fisika klasik”.
Seperti halnya kebanyakan perspektif ilmiah, mekanisme mulai dari konseptualisasi keadaan yang ’ideal’ : yakni, para penganut paham mekanistis akan berpegangan kepada asumsi epistemologis dan aksiologis tertentu tentang keadaan dunia ini. Keadaan yang ideal merupakan asumsi – ia lebih merupakan kebenaran yang analitis daripada yang empiris.
Para ahli teori dan filosof (misalnya, Bregmann, 1957) sering mengasosiasikan mekanisme dengan kuasalitas ; idealisme mekanistis menganggap kuasalitas yang menganggap kuasalitas yang menyebabkan adanya hubungan prinsipal antar konsep atau fenomena dalam pengertian bahwa suatu pernyataan teoritis, yang dikemukakan secara mekanistis, akan mengharuskan, ”A menyebabkan B”.
Ada dua prinsip dari arti pentingnya transivitas fungsi. Karena A mempengaruhi B, B mempengaruhi C, C mempengaruhi D, dan seterusnya, maka fungsionalisasi mekanistis bersifat linear. Prinsip kedua dari transivitas tersebut berkaitan dengan identitas fungsional dari setiap komponen submekanisme itu sendiri.
Jika mekanisme dan fungsionalisme bergabung menjadi satu, maka fungsi komponen mekanistis secara transitif saling berhubungan satu dengan lainnya.
Salah satu jabaran pokok fisika klasik (dan karenanya disebut idealisme mekanistis) adalah eksistensi material dari wujud tertentu. Mekanisme memang menunjukkan adanya konsepsi materialisme, yakni wujud-wujud yang dikonseptualisasikan sebagai materi.
Implikasi dari asumsi materialistis mekanisme yang pertama, wujud itu sendiri bertahan sepanjang waktu sebagai substansi material. Kedua – dari materialisme, pemberian tekanan pada aksi fisik. Selanjutnya dari doktrin materialistis mekanisme menyangkut konsep fungsional dari aspek waktu.
Suatu proposisi tambahan yang, barangkali, secara kebetulan dapat membuktikan mekanisme bahwa semua wujud memiliki atau dipandang mempunyai eksistensi material/fisik adalah doktrin reduksionisme. Reduksionisme mengasumsikan bahwa apa yang ada dalam realitas dapat dianalisis ke dalam unit yang semakin kecil.
Perspektif komunikasi yang dianut oleh sebagian besar orang, termasuk orang awam maupun para ahli berisi dosis mekanisme yang kuat. Tambahan lagi, kepopuleran mekanisme dapatlah dipahami secara penuh. Ia mudah dipergunakan bagi pembentangan secara visual dalam bentuk model yang cukup terdiri dari kertas dan pensil saja, yang jelas berkat penekanannya yang ada padanya atas sifat spasialnya.
Cara atau sarana pengirimannya, yakni, ”jalan” yang dilalui oleh pesan, disebut saluran. Saluran ini menghubungkan titik asal pesan tersebut, atau disebut sumber atau pengirim, ke titik tujuan, si penerima atau responden. Karena komunikasi khususnya melibatkan pertukaran pesan yang kontinu, maka sumbernya menjadi si penerima dan si penerima menjadi sumber pada saat yang sama dan berlangsung secara simultan.
Titik sentral dari model mekanistis komunikasi adalah unsur penyampaian – gerakan pesan dari tempat ke tempat lainnya. Setiap komponen komunikasi terletak pada saluran. Para komunikator saling dihubungkan oleh adanya saluran.
Saluran yang bertindak menghubungkan sumber/penerima adalah jelas mempunyai arah (ingat analogi dengan jam berjalan). Pesan mengalir dari satu orang atau komunikator kepada yang lainnya dalam arah tertentu, memberikan dampak pada ujung penerimaan. Kelinieran arah saluran ini jelas mendorong penyimpulan kuasi – kuasalitas, yakni, bahwa suatu sumber/pengirim mempengaruhi atau berbuat sesuatu pada si penerima/responden.
Faham mekanistis tentang hambatan dan kegagalan komunikasi lebih namyak timbul dalam pikiran sehari-hari kita daripada dalam praktek studi ilmiah yang serius terhadap fenomena komunikatif.
Perspektif mekanistis komunikasi manusia menekankan pada unsur fisik komunikasi, penyampaian dan penerimaan arus pesan seperti ban berjalan di atas sumber/ para penerimanya.semua fungsi penting komunikasi terjadi pada saluran, lokus, perspektif mekanistis.

Perspektif Psikologis
Ilmu komunikasi termasuk ilmu yang banyak meminjam ilmu-ilmu lain, seperti ilmu psikologi. Peminjaman yang dilakukan komunikasi dari psikologi bersifat agak dangkal dan sporadis. Ini tidak berarti bahwa studi komunikasi dari suatu perspektif psikologis bersifat dangkal. Komunikasi tidak meminjam semua bidang dari ilmu psikologi, hanya dari psikologi sosial. Namun tidak seperti ahli psikologi sosial, para komunikologis sedikit sekali memperhatikan argumen teoritis sekitar tradisi S-R (Stimulis-Respons) dari psikologi modern. Tambahan pula, kita hanya meminjam, sementara itu kita jarang sekali mempertimbangkan berbagai variasi teori psikologi yang tidak secara langsung mempunyai sangkut-paut apapun dengan fenomena komunikasi manusia.
Perspektif itu merupakan suatu penekanan dan pemberian makna yang relatif. Menulusuri permulaan pengaruh psikologi pada studi komunikasi manusia tidak dapat dihindari lagi menjadi arbiter (tidak semena-mena).
Psikologi merupakan disiplin yang beranekaragam dengan spesialisasi-spesialisasi yang dihubungkan dengan longgar, misalnya : psikologi kepribadian, psikologi sosial, psikologi industri, psikologi penyuluhan, psikologi abnormal, psikologi fisiologis, psikologi klinis, psikologi arkitektural, psikologi humanistis, psikologi pendidikan, dan seterusnya.
Titik beratnya ialah bentuk faham behaviorisme setelah skinner, disertai aroma penjelasan kognitif yang kuat. Karena itu, karakteristik yang berikut sebaiknya tidak disimpulkan sebagai definisi yang komprehensif atau realistis dari bentuk penjelasan yang dipakai oleh sebagian besar para ahli psikologi. Sebaliknya, karakteristik ini merupakan ciri-ciri inti dari suatu, yang pada dasarnya penjelasan S-R yang diadaptasikan pada komunikasi manusia.
Sebagai manusia, kemampuan kita sangat terbatas untuk berhubungan dengan lingkungan kita serta sesama kita. Secara fisiologis, setidak-tidaknya, kita hanya memiliki lima alat indra (pancaindera) – penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasa. Fenomena lingkungan itu yang terkandung dalam psikologis, termasuk penjelasan teoritis di luar behavioristis, adalah konsep “stimulus” sebagai satuan masukan alat indra. Stimuli memberikan input kepada alat-alat indra dan memberikan data yang dipergunakan dalam penjelasan tentang perilaku manusia. Konsep dasar stimulus sebenarnya lebih kompleks daripada apa yang tampak secara sepintas.
Konseptualisasi yang kedua dari stimulus tidak dipusatkan pada objek stimulus itu sendiri akan tetapi pada dampak objek tersebut pada alat indra yakni, stimulus itu merupakan pola visual tertentu pada retina, pola getaran suara tertentu pada gendang telinga, dan seterusnya. Dalam pengertian ini, pada dasarnya stimulus itu merupakan konsep fisiologis – penangkapan objek lingkungan oleh alat indra.
Masih ada konseptualisasi stimulus lainnya yang sama dengan paham Hanson (1958) yang menyatakan bahwa pengamatan dan pemahaman tidak dapat dipisahkan. Hanson telah mencatat bahwa kita tidak hanya “melihat” objek, kita melihat objek itu sebagai sesuatu hal atau lainnya. Dalam contoh pertemuan tatap muka di atas, stimulus itu dapat diartikan sebagai suatu salam persahabatan yang biasa dilakukan – penarikan kesimpulan dan sintesis dari seperangkat stimuli.
Kita ditanyakan tentang yang mana dari ketiga konseptualisasi tersebut yang “benar” atau “terbaik” sama artinya bahwa yang bertanya itu tidak dapat menangkap makna yang sesungguhnya. Suatu stimulus mungkin, dalam suatu situasi tertentu, dapat berupa objek dalam lingkungan, suatu pola pengindraan, atau pengalaman bulat, ataupun kombinasi ketiganya. Sifat khas stimulus adalah konsep yang agak kompleks, yang dapat berbeda dari satu situasi dengan situasi yang lain dan pasti akan mempengaruhi pemahaman kita tentang fenomena yang akan dijelaskan.
Barangkali istilah S-R merupaka istilah yang salah karena sebenarnya semua penggunaan penjelasan S-R yang mutakhir mengakui adanya intervensi organisme antara stimulus dan respons – sehingga dipakai istilah S-O-R. karena itu, penjelasan S-R mengandung karakteristik urutan inpput-throughtpur-output (masukan-dalaman-keluaran). Biasanya, hubungan antara stimulus dan respons diwarnai oleh hubungan sebab-akibat.
Tujuan penjelasan S-R berpusat pada peramalan, dan peramalan berpusat pada respons. Sebenarnya respons dianggap sebagai perilaku yang secara langsung diamati, dan penjelasan psikologis berusaha menghubungkan, yakni menjelaskan perilaku dalam artian stimuli dan keadaan internal. Memang jelas bahwa respons tidak dapat diramalkan semata-mata dalam arti sifat fisik stimulus. Respons lebih dapat diuntungkan dengan keadaan internal yang diaktifkan oleh psikologis.
Model psikologis dari komunikasi jarang tampak dalam literatur teori komunikasi sebagai suatu pandangan yang bulat mengenai proses komunikatif. Biasanya, para ahli teori komunikasi yang akan mempergunakan perspektif psikologis memadukan karakteristik psikologis dari komunikasi dengan karakteristik model mekanistis.
Orientasi S-R cukup menonjol dalam perspektif psikologis tentang komunikasi manusia. Pertama-tama, perspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus, yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Di sekeliling setiap orang terdapat arus stimuli yang hampir tidak terbatas jumlahnya, semuanya dapat diproses melalui organ-organ indra penerima, yakni penglihatan, pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa.
Perspektif psikologis komunikasi manusia jelas berfokus pada individu sebagai “tempat” yang utama untuk menemukan terjadinya komunikasi. Tambahan pula, perspektif psikologis memandang individu sebagai organisme kotak hitam, dengan berfokus pada individu secara efektif komunikasi ditempatkan dalam keadaan internal sehingga tidak dapat dicapai melalui pengamatan langsung. Proses penerimaan stmuli melalui filter konseptual merupakan proses penafsiran. Si penafsir harus mengidentifikasikan menstruktur atau mengorganisasikan, dan membedakan stimuli yang diterimanya.
Perspektif psikologis tentang komunikasi manusia telah melahirkan banyak masalah dan petunjuk baru, yang telah menandai sejumlah besar upaya penelitian di bidang komunikasi manusia dalam tahun-tahun terakhir ini. Salah satu kecenderungan umum kelihatannya ialah memperlakukan langsung komunikator sebagai manusia – kembali kepada prinsip humanistis.
Sampai batas tertentu, debat tentang hubungan sikap perilaku itu mencerminkan perbantahan teoritis dalam psikologi antara psikologi kognitif dan S-R. bagi sebagian ahli psikologi, perbantahan itu mencerminkan upaya untuk menemukan teori tunggal yang dapat mempersatukan studi psikologi yang berpola dua itu – psikologi perilaku dan psikologi kognitif.
Perspektif psikologis, implikasi selanjutnya adalah yang paling berhubungan dengan metodologi dan teknik yang dipakai dalam praktek penelitian. Kesukaran dalam pengukuran sikap saja akan meningkat secara dramatis akibat kesulitan karena adanya sifat multidimensional dan kekompleksan komponen kognitif, afektif, dan behavioral.
Perspektif psikologis tentang komunikasi menusia berpusat pada “keaktifan” si komunikator/penafsir. Model masukan-keluaran dengan jelas memperlihatkan bahwa semata-mata adanya informasi tidaklah menjamin bahwa individu menerima atau menyimpannya. Dengan perkataan lain, para komunikator secara aktif mengendalikan informasi yang mereka olah.
Penelitian komunikasi perspektif psikologis umumnya berifat eksperimental. Karena para ahli komunikasi telah meminjam konsep dan definisi operasional dari psikologi, maka wajar jika mereka juga merefleksikan metodologi yang menjadi ciri khas yang digunakan oleh para ahli psikologi.
Persuasi dan Perubahan Sikap, sebagian besar penelitian komunikasi dalam bidang persuasi dan perubahan sikap berasal dari satu atau lebih model psikologi keseimbangan yang beraneka itu. Walaupun variasi model keseimbangan yang berlainan itu berbeda sekali, semuanya mencerminkan prinsip keseimbangan internal; yakni, manusia lebih senang memelihara keadaan yang berumbang secara internal.
Komunikasi Organisasional, walaupun sebagian besar penelitian komunikasi organisasi barangkali bersifat mekanistis, sebagian penelitian organisasi dalam komunikasi telah mencerminkan perspektif psikologis. Terutama dalam pengertian fungsi penjaga gerbang, studi jaringan komunikasi dalam setting organisasi telah mencoba memberikan penjelasan tentang sifat pelaksanaan pengolahan informasi individu.
Komunikasi Kelompok, para ilmuwan komunikasi yang mendalami fenomena kelompok sering menggunakan penghampiran psikologis dalam pengkajian mereka. Model pertukaran sosial yang dikembangkan oleh Thibaut dan Kelly (1959) telah mengkonseptualisasikan interaksi interpersonal sebagai rasio antara sistem ganjaran dengan biaya yang dikeluarkan atau model ekonomis dari alternatif pilihan sosial.
Lain-lain, beberapa bidang penelitian komunikasi tambahan dewasa ini memperoleh kepopuleran yang cukup besar namun belum tercakup dalam pembahasan yang terdahulu, meskipun tampaknya konsisten dengan asumsi perspektif psikologis. Karena beberapa alasan tertentu, bidang ini tidak dimasukkan. Pertama, bidang tersebut mengenai variabel spesifik dengan generalisasi yang terbatas bagi proses komunikatif. Kedua, variabel ini tidak membangkitkan minat penelitian yang meluas di antara sejumlah besar masyarakat ilmiah bila diukur dari sejumlah besar ilmuwan yang terlibat dalam penelitian tersebut.

Perspektif Interaksional
Fisher menggunakan istilah perspektif interaksional untuk menunjukkan pandangan komunikasi manusia yang telah berkembang secara tidak langsung dari cabang sosiololgi yang dikenal sebagai interaksi simbolis.
Perspektif interaksional tentang komunikasi manusia seyogyanya jaganlah ditafsirkan sebagai pengaplikasian interaksi simbolis pada komunikasi. Akan tetapi, hendaknya dipandang bahwa sejumlah penghampiran tentang studi komunikasi manusia nampaknya mencerminkan beberapa asumsi yang secara filosofis sama.
Perspektif interaksional menonjolkan keagungan dan nilai individu di atas segala pengaruh yang lainnya. Manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, bermasyarakat, dan buah pikiran. Tiap bentuk interaksi social itu dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Inilah karakteristik utama dari perspektif ini.
Dalam diri tiap individu, pewujudan “diri” menunjukkan eksistensi “saya (I)” dan “aku (me)”. “Saya” merupakan bagian yang aktif dari diri yang mampu menjalankan perilaku perilaku. “Aku” mewujudkan dalam diri konsep tentang “yang lain.” Singkatnya, “saya” tidak dapat diramalkaan. Sedangkan “aku” dapat diramallkan. Karena “aku” memberikan kepada “saya” arah dan berfungsi untuk mengendalikan “saya”, yang hasilnya membuat perilaku manusia mudah untuk diramalkan.
Karena itu, dalam kerangka pegertian tentang diri terkandung esensi interaksi social—interaksi antara “saya” dan “aku”—perwujudan diri dan yang lain didalam diri tadi. Secara sederhana, “aku”, melalui pengamatan diri sendirei atas berbagai tindakan dan dengan jalan menghubungkannya pada pengamatan yang silam pada tindakan yang lain, membentuk perilaku “saya.”
Mead membedakan antara dua tingkat interaksi – isyarat dan lambang. Blumer mengartikan tinkat-tigkat ini sebagai interaksi yang nonsimbolis dan interaksi yang simbolis.
Dalam setiap proses penunjukkan diri apapun, individu itu sendiri merupakan objek penafsiran. Dengan demikian, maka perspektif interaksional serupa dengan perspektif psikologis, dalam anggapan bahwa pengalaman silam individu dapat mempengaruhi tindakan masa yang sekarang, pada gilirannya, dapat mempengarui tindakan berikutnya . Namun demikian, keserupaan itu hanyalah sampai di situ saja.
Hakikat tindakan manusia ini menunjuk pada pengambilan peran dari setiap individu. Dalam proses pengambilan peran ini, individu dapat mengambil peran orang lain. Bentuk pengambilan peran yang paling informative adalah peran generaliz other. Peran ini mencerminkan umumnya para warga masyarakat atau kultur tempat individu itu mengidentifikasika dirinya.
Seorang individu, menurut definisinya, adalah perwujudan masyarakat mini yang tindakannya merupakan produk langsung dari—dan sebenarnya—suatu bagian yang integral dari penafsiran diri serta pengambilan peran. Jadi individu itu merupakan wujud social, termasuk semua tekanan social ke arah konformitas di samping kemampuannya untuk menyimpang dari tekanan penyesuaian diri dengan maasyarakat.
Pada waktu individu itu mengambil perannya, ia dapat mengizinkan “orang lain” untuk mengarahkan tindakan individualnya sehingga, tindakan beberapa orang atau lebih menjadi saling terstruktur satu dengan yang lainnya untuk membentuk tindakan kelompok; yakni individu pengambil peran menyelaraskan tindakannya dengan tindakan orang lainnya, bahkan dengan generalized other.
Blumer (1969:2) telah mengemukakan tiga buah “premis sederhana” yang menjadi dasar interaksionalisme simbolis. Ketiganya berfungsi sebagai ringkasan tentang posisi filosofis/teoritis dari interaksi simbolis. (1) “Manusia bertindak terhadap hal-hal atas dasar makna yang dimiliki oleh hal-hal tersebut.” (2) Makna ini berkaitan langsung dengan “interaksi social yang dilakukan seseorang dengan tgeman-temannya.” (3) Makna ini diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui “proses penafsiran yang dipergunakan orang tersebut dalam berhubungan dengan hal-hal yang ia hadapi.”
Pertama-tama, model ini mengemukakan adanya pemisahan diri, orang lain dan objek, yang dalam realitasnya, orientasi terhadap ketiganya bersifat simultan dan tak dapat terpisahkan, masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lainnya. Model ini menggambarkan kemanunggalan yang unidimensional dari diri, orang lain, objek, dan konteks kultural, yang jelas tidak mencerminkan realitas.
Komunikator interaksional merupakan penggabungan yang kompleks dari individualisme sosial, yakni seorang individu yang menmgembangkan potensi kemanusiawiannya melalui interaksi sosial. Komponen berikutnya dalam pengambilan peran dari perspektif interaksional adalah orientasi. Selanjutnya, yang juga berperan dalam perspektif ini adalah keseearahan (congruence), dan yang terakhir adalah lambing.
Perspektif interaksional tentang komunikasi manusia amat sering dinyatakan sebagai “komunikasi dialogis” atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Komunikasi sebagai monolog (lawan dari dialog) mengandung pandangan mekanistis tentang seseorang (atau suatu lingkungan) “yang sedang melakukan sesuatu atas” orang yang lainnya.
Perspektif interaksional merupakan reaksi humanistis terhadap dan psikologi S-R. Sebagai reaksi yang negatif, terdapat banyak implikasi yang mencerminkan pencaharian sesuatu yang baru dalam pengertian apa yang disebut oleh Matson dan Montagu (1967: 1-11) sebagai ”suatu revolusi yang belum selesai”
Perspektif interaksional sendiri lebih banyak menghasilkan diskusi dan gejolak daripada menghasilkan penelitian-penelitian empiris yang sesungguhnya. Lebih-lebih lagi, interaksionisme telah menimbulkan kepekaan atau kesadaran yang makin tinggi di kalangan para anggota masyarakat ilmiah akan kekurangan perspektif-perspektif yang lebih bersifat tradisional.
Kesadaran yang makin meningkat tentang diri (self) telah mendorong gejolak minat penelitian dewasa ini pada fenomena pengungkapan diri. Pengungkapan diri dapat didefinisikan, sekalipun secara luas, sebagai penyingkapan informasi tentang diri yang pada saat lain tidak dapat diketahui oleh pihak yang lain. Sebagian besar penelitian tentang pengungkapan diri ini cenderung menggunakan penjelasan psikologis dengan sifat-sifat psikologis. Erat kaitannya dengan komunikasi pengungkapan diri adalah aspek keakraban (intimacy).
Persuasi mempunyai arti proses pengaruh sosial – pengarahan komunikasi yang tidak seluruhnya konsisten dengan interaksionisme. Peran komunikator dalam konteks persuasive bersifat komplementer. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah memandang proses pengaruh social ini sebagai proses persuasi diri; yakni, pelaku persuasi mengambil peran sudut pandang orang yang dipersuasi dalam upayanya untuk mengungkapkan unsur-unsur yang diterima oleh yang lain sebagai yang paling penting.
Umumnya penelitian komunikasi yang mencerminkan perspektif interaksional terdiridari kelompok studi yang relatif terpisah-pisah dalam kerangka studi yang luas, yang berorientasi pada prinsip yang sama.

Perspektif Pragmatis
Lebih dari tigapuluh tahun yang lalu, Charles Morris (1946) telah meletakkan dasar semiotics (teori tentang lambang). Ia membagi semiotics ke dalam bidang studi: sintaksis, semantika, dan pragmatika. Aspek pragmatis komunikasi berpusat pada perilaku komunikator sebagai komponen fundamental komunikasi manusia, daripada memandang perilaku sebagai produk atau efek tindakan komunikatif, pragmatika berpandangan bahwa komunikasi dan perilaku sesungguhnya sama. Pragmatika (secara tidak langsung dari Morris), berfungsi sebagai nama dari perspektif ini untuk pengkajian proses komunikasi manusia.
Sekalipun kenyataannya istilah pragmatika bermula dari studi semiotika, namun perspektif pragmatika tidak memiliki hubungan dengan semiotika untuk prinsip-prinsip teoretis/filosofisnya. Prinsip-prinsipnya secara langsung banyak berasal dari teori sistem umum (general sistem theory), campuran, multidisipliner dari asumsi, konsep, dan prinsip-prinsip, yang menyediakan secara umum bagi studi berbagai jenis fenomena.
Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa teori sistem merupakan seperangkat prinsip yang terorganisir secara longgar dan bersifat amat abstrak, yang berfungsi untuk mengarahkan jalan pikiran, namun yang tergantung pada berbagai penafsiran.
Prinsip Ketidakmungkinan Dijumlahkan (Nonusmmativity). Prinsip yang pertama dari teori sitem adalah definisi sistem itu sendiri – suatu totalitas, “keseluruhan dari sesuatu” Rapoport (1968; xvii) mendefinisikan sistem sebagai “totalitas yang berfungsi sebagai keseluruhan karena adanya saling ketrergantungan dari bagian-bagiannya.” Hall dan Fagen (1956; 18) menegaskan kembali prinsip keseluruhan (wholtness) dengan mengartikan sistem sebagai “seperangkat objek yang disertai hubungan-hubungan antara objek-objek tersebut dan antara sifat-sifatnya.” Karena saling ketergantungan ini, maka setiap perubahan apapun dalam komponen secara otomatis mempengaruhi tiap komponen yang lain.
Ketidakmungkinan penjumlahan dan keseluruhan seperti dua sisi mata uang yang sama, berarti bahwa sistem itu berlainan dari penjumlahan objek atau komponen-komponen yang, secar bersama, membentuk sistem yang bersangkutan. Akan tetapi bila komponen disatukan secara independen, hasilnya adalah kolektivitas yang memiliki identitas sendiri dan berbeda dengan identitas individu komponennya.
Struktur, Fungsi, dan Evolusi. Hubungan yang sifatnya saling tergantung antar komponen dapat dilukiskan menurut ketiga unsur yang saling berhubungan. Hubungan strukturan menunjukkan adanya ruang (spatial). Hubungan fungsional mengandung arti adanya hubungan hubungan yang berorientasi pada waktu diantar komponennya. Hubungan evolusioner melacak sejarah sistem itu sepanjang waktu.
Prinsip Keterbukaan. Para ahli teori telah menggunakan beberapa karakteristik untuk membedakan sistem terbuaka dan tertutup.yang paling umum dari karakteristik ini adalah pertukaran energiatau informasi yang bebas antara sistem yang terbuka dengan lingkungannya. Yakni, sistem yang terbuka memiliki daerah perbatasan yang dapat ditembus, yang memungkinkan pertukaran yang cukup dengan lingkungan sistem tersebut.
Organisasi Hierarki. Jika dapat dilukiskan lingkungan konsentris, saperti serangkaian kotak yang akhirnya tak terbatas jumlahnya, masing-masing kotak tadi jika dibuka maka akan ditemukan kotak lagi dan seterusnya. Bagi setiap sistem terdapat sistem yang lebih besar yang melingkupinya – supsisitem – dan terdapat pula sistem yang lebih kecil darinya (subsistem).
Meskipun filsafat mekanistis tentang komunikasi meyandang teori informasi tidak begitu penting atau bahkan relevan dengan perspektif pragmatis, funsionalisasi informasi merupakan hal yang sentral. Informasilah yang menggerakkan sistem sosial itu dan melestarikannya. Informasilah yang dipertukarkan diantara subsistem, sistem, dan suprasistem, sesuai dengan prinsip keterbukaanya.
Pilihan dan Ketidakpastian. Salah satu kelebihan manusia dari berbagai ciptaan (Tuhan) yang lain adalah dapat menentukan pilihan. Karena itu, dalam sistem sosial, terdapat populasi pilihan bagi setiap manusia (yakni, unsur). Manusia, sebagai komponen yang aktif dalam sistem sosial, secara konstan melakukan pilihandari populasi ini selam interaksi sosial. Informasi diukur dalm artian “berapa banyak” ketidakpastian dihilangkan – ketidakpastian yang berkaitan dengan dengan pilihan mana yang sebaiknya dipilih dari serangkaian alternatif.
Redundansi dan Kendala. Sifat informasi, dalam pengertian sistem sosial yang mengolah informasi, mengemukakan bahwa sistem lebih menangani peristiwa daripada objek material. Sebagai kejadian dalam waktu, peristiwa saling diasosiasikan satu sama lain dalam arti urutan kronologis rangkaian peristiwa. Teori informasi menentukan bahwa penyesuaian yang lampau suatu sistem mempengaruhi masa kini sehingga perilaku pengolahan informasi cenderung untuk berulang sepanjang waktu dalam pola uji coba. Apabila urutan perilaku atau peristiwa tertentu terjadi berulang kali, maka urutan itu dapat dikatakan memperlihatkan keteraturan kejadian pada tingkat atau probabilitas tertentu. Selama urutan itu secara konsisten selalu diulang kembali, sistem itu memperlihatkan redundansi. Makin redundan suatu urutan, makin berkurang ketidakpastian yang dikandung dalam suatu urutan itu, yaitu makin tinggi probabilitas kejadian itu, yaitu makin banyak redundansi dari suatu peristiwa tertentu dalam urutan, makin banyak kendala dikenakan pada rentangan alternative yang dapat diperoleh.
Perspektif pragmatis tentang komunikasi manusia berlainan sekali dari tiga perspektif yang terdahulu dan memerlukan konseptualisasi kembali terhadap fenomena komunikatif. Sistem Sosial. Untuk memandang komunikasi manusia sebagai sistem, memerlukan eksistensi sistem sosial yang didalamnya terjadi komunikasi itu. Pernyatan ini menuntut konseptualisasi komunikasi sebagai aktivitas manusia dan jangan dikacaukan dengan piranti keras (hardware) komunikasi (yaitu hasil perkembangan teknologi). Sebagai sistem sosial, komunikasi melibatkan manusia yang dapat atau tidak memanipulasikan mesin.
Perilaku, apabila individu menjadi subsistem dalam focus sistem sosial, maka organisasi hierarki sistem memainkan peranannya. Tiga tingkat sistemik diperlukan dalam menganalisa sistem komunikasi. Sub sistem, sistem, dan suprasistem. Weick menunjukan “Jika terdapat tingkat-tingkat analisis yang berlainan (individu, kelompok, organisasi, masyarakat), satu-satunya cara untuk mempelajari tingkat itu adalah jika kita tahu bagaimana tingkat itu terjalin bersama, yaitu bagaimana satu tingkat berinteraksi dengan tingkat lainnya.”
Pola-pola Interaksi yang Berurutan. “Aksioma tentative komunikasi” yang ketiga dari Watzlawick, Beavin, dan Jackson (1967:54-59) menyatakan “ sifat hubungan bergantung pada pungtuasi urutan komunikasi antara para partisipannya.” Pungtuasi (punctuation) ini semata-mata menunjukkan pengelompokkan unsur-unsur kedalam pola yang telah dikenal.
Dimensi Isi dan Hubungan. Aksioma tentative yang kedua tentang komunikasi manusia dari Watzlewick, Beavin, dan Jackson (1967:51-54) menjabarkan bahwa ada dua jenis informasi dalam setiap tindakan komunikatif – informasi yang mengenai isi dan informasi yang menyangkut masalah hubungan, dimensi isi dari tindakan komunikatif memberikan aspek ‘data’ dari informasi. Dimensi hubunan menghidangkan informasi seperti tentang bagaimana orang sebaiknya menafsirkan data tersebut. Kedua dimensi ini tidak dapat dipisahkan dan selalu hadir dalam setiap tindakan komunikasi.
Perspektif pragmatis tidak mengingkari eksistensi filter konseptual yang internal. Ia hanya menganggap sebagai bentuk analisis lain. Fenomena internal ini memasuki sistem komunikatif sebagai perilaku yang dieksternalisasikan, atau tudak memasuki sistem sama sekali. Baru setelah itu, internalisasi menjadi bagian sistem. Sekalipun begitu, tindakan perorangan itu tidak membentuk seluruh sistem.
Probabilitas stokastis (statistis) tidak menunjukkan adanya hubungan linier semacam itu antara keadaan pemula dan keadaan berikutnya (lebih baik tidak dipakai istilah ”akbat”) proses stokastis hanya menentukan probabilitas bahwa keadaan berikutnya yang tertentu (dari antara rentangan keadaan yang mungkin ada) benar-benar timbul setelah keadaan pemula yang tertentu.
Sekali analisis kualitatif terhadap sistem komunikasi mengategorikan perilaku manusia kedalam kategori fungsional, masalah berikutnya adalah menganalisa perilaku yang dikategorikan itu. Dari pembahasan yang terdahulu tentang teori informasi, kita mengetahui bahwa perilaku terjadi sebagai urutan peristiwa yang kontinu yang karena pengulangan perilaku (yakni perilaku yang tercakup dalam kategori fungsional yang sama) dapat memperlihatkan pembentukan pola atau redudansi.
Mengonseptualisasikan waktu dalam pengertian yang lain dari pengertian fisiknya memang agak sedikit sulit. Kita cenderung untuk membatasi pikiran kita tentang waktu melalui konseptualisai yang telah ditanamkan oleh jam. Sudah tentu, perspektif pragmatis komunikasi manusia mencakup konsep waktu secara fisik. Waktu fisik masih tetapa merupakan standar untuk mengukur semua dimensi waktu lainnya,namun begitu perspektif pragmatispun mencakup konsep waktu lainnya. Satua aspek waktu yang pragmatis mencakup kesatu arahannya yang disebutkan itu. Dalam hal ini peristiwa atau perilaku dapat terjadi dalam tingkat redudansi dapat terukur.
Kecenderungan untuk memisah-misahkan komunikasi dalam tingkat sosiologis tertentu harus menunjukkan adanya potensi teori sistem untuk mempersatukan organisasi hierarkis dari sistem terkandung dalam setiap perspektif pragmatis, tergantung pada tingkatan perhatian yang terbesar secara sosiologis bagi peneliti. Konsep tentang urutan perilaku dan redudansi dapat digegeralisasikan bagi setiap tingkat hierarki sistem. Perilaku dalam suatu sistem yang terdiri dari dua orang mungkin hanya komentar verbal seorang individu, dan perilaku pada tingakat masyarakat (komunikasi massa) mungkin lebih abstrak lagi tetapi tetap berupa perilaku juga.
Beer mengungkapkan bahwa, dalam upaya memahami cara bekerja suatu sistem secara internal, kita memilih, dari sejumlah hubungan antara hal-hal tidak terbatas, himpunan yang karena kesearahan pola dan tujuannya memungkinkan penafsiran pada apa yang mungkin semula merupakan urutan tanpa arti dari peristiwa yang arbitrer. Bila mana kategori itu memungkinkan peneliti untuk menafsirkan jalannya sistem komunikasi, kategori itu tidak dapat dianggap tidak penting, tidak relevan, ataupun tidak sesuai, namun sudah tentu penafsiaran itu akan berbeda karena ditentukan oleh kategori yang dipakai untuk mengelompokkan perilaku tersebut.
Umumnya penelitian komunikasi yang dijalankan dalam perspektif pragmatis mengamati sistem sosial yang berbentuk diad (dua orang) atau kelompok. Hawes telah mengamati komunikasi dalam setting sosial suatu wawancara medis antara dokterdan pasiennya. Rogers dan koleganya yang sedang mempelajari komunikasi hubungan, mengamati pasangan-pasangan yang telah menikah.
Perbedaan yang khas antara penelitian psikologi sosial tentang fase-fase perkembangan kelompok dan penelitian komunikasi yang serupa adalah dalam menganalisa data dan menandai fase-fase menurut pola interaksi. Meskipun para ahli psikologi sosial, dengan pengecualian yang terkenal seperti Bales dan Strodtbeck (1951), cenderung untuk menandai fase-fase perkembangan kelompok dengan jalan menulusuri perubahan pada variable-variabel kognitif dan afektif dari para anggota kelompok, penelitian komunikasi secara pragmatis menggunakan pola yang berubah-ubah dari perilaku interaktif sebagai dasar yang fundamental bagi pembedaan diantara fase-fase itu.
Perspektif pragmatis masih baru sehingga masih banyak kemungkinan penelitian yang lain, dan menunjukkan aliran ini masih berkembang sehingga belum terumuskan secara baku

Tidak ada komentar: