Jumat, 23 Desember 2011

Masyarakat Agraris dan Mistik


Dimanakah jin, iblis, setan—di Indonesia ketiganya disebut pula dengan istilah “hantu”—itu bersemayam? Jawaban yang paling gampang, mungkin, di dunia mistik dan klenik. Sebuah dunia yang mempertontonkan irasionalitas, hal-hal ajaib, ihwal yang “tak ada logika” di hadapan kita. Sebuah “dunia lain” yang kita perlakukan sebagai “antara ada dan tiada”, dan kita pahami dengan “percaya nggak percaya”.

Maka, pengetahuan tentang mistik dan klenik ini hanyalah pengetahuan yang dibenarkan bagai legenda atau mitos. Diceritakan lintas generasi dan menjadi kisah yang “konon” semata, namun mustahil diilmiahkan. Seperti folklor atau tradisi lisan. Ya, kita mendengar ceritanya dari banyak orang dan beragam penutur. Namun, tetap saja kepastian yang didapat hanya seperti meraba-raba, bagai bayangan yang tak-terang alias kabur, akan tetapi kisahnya terus hidup atau terdengar dari masa ke masa. Melintasi waktu dan selalu saja ada yang mempercayainya.

Tak bisa diilmiahkan? Ya, karena memang jin, iblis, setan bukan makhluk yang fisik (metafisik?), non-biologis, dan tak bisa dicerap oleh panca-indera manusia. Padahal, syarat mendasar bagi sebuah keilmiahan adalah adanya wujud fisik, kimiawi, atau biologis sehingga eksperimentasi menjadi mungkin dan penyelidikan ilmiah dapat diterapkan.

Oleh karenanya, pengantar ini hanyalah sebuah pengantar ringan yang tanpa tendensi ilmiah, tidak juga ideologis mungkin (kalaupun tuduhan itu ada), atau mengklaim satu sisi kebenaran, agama misalnya, meski wilayah tersebut menjadi salah satu referensi dan spirit pengantar ringan ini.

Sebagian ahli berpendapat bahwa mistik atau klenik sesungguhnya merupakan fenomena khas masyarakat agraris seperti Indonesia. Fenomena tersebut merupakan kekayaan budaya dari masyarakat yang sangat kental dengan nilai-nilai tradisi. Tradisi yang merupakan warisan asli bumi nusantara yang berakar pada kepercayaan “animisme” dan “dinamisme”. Bila yang pertama merupakan kepercayaan akan adanya arwah leluhur atau nenek moyang, maka yang kedua adalah kepercayaan terhadap kekuatan gaib yang menghuni tempat-tempat atau benda-benda tertentu, seperti goa, rumah tua, atau pohon besar.

Tak heran bila slametan dan sesajen menjadi ritual tradisi yang sering dilekatkan pada masyarakat pedesaan. Hingga kini, acara slametan dan upacara-upacara adat yang menggunakan sesajen masih kerap dilaksanakan. Baik sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah alam dan tanah yang subur yang nampak dari hasil pertanian dan laut, maupun dilakukan sebagai ikhtiar tolak bala, pembuang sial, atau penghindar dari musibah. Ini menunjukkan betapa akrabnya masyarakat kita terhadap sesuatu yang mistik atau klenik.

Tentu saja, mistik atau klenik yang bermuara pada kepercayaan terhadap yang adikodrati, yang gaib, adalah sebuah kepercayaan yang setua umur manusia dan peradaban. Sebab, kepercayaan pada yang gaib adalah muara keimanan dan keberagamaan seseorang. Bukankah Tuhan itu sesuatu yang gaib? Bukankah malaikat, surga-neraka, dan alam-sesudah-mati juga bagian dari yang gaib, yang tidak kasat-mata atau tercerap oleh indera manusia? Bukankah jin, iblis, dan setan adalah juga gaib?

Maka, tak heran bila kemudian berkembang keyakinan-keyakinan pada diri manusia bahwa ada alam lain selain alam manusia. Yaitu dunia makhluk halus yang dihuni oleh makhluk selain manusia. Dunia yang kemudian menghuni ruang fantasi dan imajinasi manusia. Dan fenomena tersebut ada di seluruh belahan dunia, tak terkecuali Eropa dan Amerika yang dikenal sangat modern dan rasional.

Indikasi yang paling sederhana adalah adanya orang-orang yang dianggap mengetahui dunia gaib, mereka yang memiliki kekuatan supranatural. Mereka yang juga dikenal dengan sebutan dukun, paranormal, magician, “orang pintar”, dan sebutan-sebutan lain yang nyaris tidak berbeda arti. Mereka ada dalam komunitas-komunitas masyarakat di seluruh penjuru dunia.

Indikasi sederhana lainnya mungkin film-film horor yang ada di setiap negara dan semua benua. Meski berbeda wujud dan penampakan yang ditampilkan, namun tetap saja eksplorasi yang dilakukan oleh film-film tersebut adalah pada ranah yang sama: alam gaib, mistik, atau supranatural.

Fenomena mistik atau klenik didukung oleh adanya kegaiban dari makhluk yang berada di luar alam manusia, yaitu alam jin, iblis, dan setan yang keberadaan dan eksistensinya dijamin oleh kitab suci. Interaksi yang terjadi antara kedua alam, alam manusia dan alam di luar manusia, melahirkan suatu issue: penampakan-penampakan yang kemudian diistilahkan dengan nama tertentu sesuai dengan kondisi dan budaya masyarakat setempat. Karena itulah di Indonesia terdapat beragam nama hantu yang mempunyai perwujudan dan kekhususan masing-masing. Itulah salah satu yang mendasari penerbitan ensiklopedi mini ini.

Sekali lagi, dunia hantu tidak hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Di Cina ada yang namanya vampir, di Amerika dan Eropa ada drakula. Keduanya adalah mayat hidup yang menghisap darah. Di Afrika ada vodoo. Singkatnya, itu berarti eksistensi dunia gaib memang selalu berjalan pararel dengan eksistensi manusia.

Maka, fenomena gaib memang mau tidak mau harus kita akui keberadaannya. Hanya mungkin, sebagai insan beragama, sudut pandangnya yang harus diluruskan. Sudut pandang terhadap alam gaib yang dibiarkan liar, akan melahirkan opini dan persepsi yang salah kaprah tentang dunia gaib, terutama kepada apa yang kemudian disebut sebagai hantu.

Sebab, pada dasarnya hantu itu adalah iblis, setan, atau jin. Makhluk ciptaan Tuhan yang memang mendapatkan lisensi untuk menganggu, menggoda, serta menyesatkan manusia dari rel kebenaran agama, sampai hari kiamat tiba. Makhluk yang menganggu manusia dalam berbagai bentuk, yang membuat manusia selalu dalam keragu-raguan dalam mensikapi segala sesuatu, terutama keragu-raguan terhadap kemahakuasaan Tuhan. Iblis, menyesatkan manusia dalam hal meyakinkan manusia bahwa ada kekuatan lain selain kekuatan Tuhan yang dapat menciptakan takdir, mengubah nasib, serta memberi keberuntungan dan kebahagiaan.
Dalam kitab suci, dalam hal ini Alquran, disebutkan bahwa hantu atau iblis diciptakan dari api (QS. Al-A’raf: 12). Namun, Alquran tidak menyebutkan apa dan bagaimana bentuknya, apakah seperti Pocong, Genderuwo, Drakula, Kuntilanak atau yang lainnya.

Karenanya, lahir salah satu pemahaman: bahwa semua bentukan-bentukan tersebut adalah ciptaan fantasi dan imajinasi manusia itu sendiri. Melalui pemahaman ini, maka, iblis tak ubahnya berupa energi yang selalu mengalir dalam setiap detak jantung kehidupan manusia. Seperti halnya udara yang bisa memasuki apa saja dan menempati apa saja. Zat yang bisa mewujudkan dirinya menjadi apa saja seperti yang ada dalam benak serta persepsi kita. Maka ketika muncul berbagai fenomena hantu, seperti Pocong, Kuntilanak, Genderuwo, atau Wewe Gombel, sesungguhnya bukan itu wujud iblis yang sesungguhnya. Itu adalah bentukan dan istilah yang diciptakan oleh imajinasi manusia belaka. Seperti ketika masyarakat meyakini adanya keanehan di sebuah pohon tua angker, yang kemudian diyakini sebagai tempat tinggal makhluk besar berwarna hitam, kemudian ada yang menyebutnya dengan “Genderuwo”, lantas muncullah nama makhluk itu sebagai Genderuwo.

Secara sederhana, bila mengikuti logika di atas, keyakinan tentang adanya Genderuwo yang terus-menerus, akan didengarkan oleh iblis. Maka, berjalanlah misi iblis untuk mengganggu manusia. Ia kemudian akan membentuk dirinya menjadi makhluk yang ada dalam persepsi orang atau masyarakat tersebut. Selanjutnya, iblis akan menggunakan kekuatannya untuk melakukan atraksi gaib agar memperkuat persepsi masyarakat terhadap eksistensinya. Setelah iblis berhasil menjadi salah satu bentukan hantu, maka tinggal selangkah lagi: menggiring manusia kepada kekufuran, mengingkari keberadaan Tuhan.

Jika logika ini diteruskan, maka wajar bila kemudian lahir tempat-tempat yang dikeramatkan yang kemudian dijadikan pemujaan untuk mencari pesugihan: harta (kekayaan), tahta (jabatan), dan wanita (jodoh). Pemujaan itu menjadi mungkin ketika keimanan terhadap Tuhan dengan keesaan dan kemahakuasaannya melemah, atau mungkin sirna sama sekali. Paham animisme dan dinamisme yang melatarbelakangi tradisi dan kebudayaan masyarakat Indonesia, membuat fenomena hantu begitu mudah merasuk ke dalam pikiran dan persepsi masyarakat, sehingga beragam hantu muncul dalam tradisi bangsa kita. Kemudian buku ini terbit. Tentunya bukan sebagai tuntunan gaib, tapi sekadar sebagai dokumentasi tentang kekayaan tradisi bangsa.

Belum semua nama hantu di seluruh wilayah Indonesia berhasil dituliskan. Karenanya, buku ini kami beri nama Ensiklopedi Mini Hantu Indonesia. Penambahan nama-nama lain, terutama dari pembaca budiman, pastinya akan memperkaya penyusunan ensiklopedi mini ini. Maka, sumbangan item untuk buku ini dari pembaca budiman tentunya menjadi kebanggaan besar dan kebahagiaan bagi kami (silakan dialamatkan ke email penyusun).

Sesuai namanya: Ensiklopedi Mini Hantu Nusantara, maka ensiklopedi mini ini hanya memberikan deskripsi singkat dan seringkali nama-nama yang dimuat tanpa diberikan gambaran penampakan yang rinci. Karena memang ensiklopedi mini ini disusun berdasarkan cerita-cerita dan tuturan yang berkembang di masyarakat. Kalaupun ada perbedaan deskripsi di lain tempat atau daerah, atau mungkin nama berbeda namun penampakannya sama, tentunya mesti dimafhumi bahwa dalam kaitan dengan dunia kegaiban tidak ada pakem yang bersifat mutlak.

Yang pasti, kehadiran ensiklopedi mini ini bukan untuk melegitimasi dan melestarikan keyakinan yang berkembang dalam masyarakat perihal hantu-hantu yang beraneka nama dan jenisnya. Karena keyakinan itu menjadi hak masing-masing orang untuk apakah ia mau mempercayai fenomena penampakan hantu yang beragam itu ataukah tidak.

Ensiklopedi mini ini sekadar menegaskan bahwa keyakinan akan hantu itu bersifat universal—mendunia: lintas negara, bahkan benua. Namun, wujud, bentuk, dan penampakannya bersifat kontekstual dan kultural. Sesuai dengan bahasa, tradisi, bahkan letak geografis masyarakat setempat.

Tidak ada komentar: