Senin, 07 Juli 2008

Fundamentalisme & Sekulerisme

Belakangan ini, masyarakat dunia dikagetkan dengan peristiwa-peristiwa kekerasan yang dilakukan atas nama agama. Agama yang sebelumnya diyakini sebagai pembawa kedamaian justru menjadi pemicu malapetaka. Hal ini terjadi, terutama, karena pandangan keberagamaan yang semakin menyempit. Para pemeluk agama tidak lagi menempatkan agama sebagai instrumen bagi sikap dan perilaku terbuka, malah dijadikan semacam kurungan yang sempit dan ekslusif.
Apa-apa yang menyangkut agama maka ikutilah aku sedangkan apa-apa yang menyangkut dunia maka kaulah yang lebih tau. Apakah ini pernyataan yang berarti sekularisme, ada pemisahan antara agama dalam kehidupan publik? lalu bagaimana dengan fundamentalisme?
Fundamentalisme yang dimaksud tidak hanya terjadi dalam agama Yahudi, Kristen, dan Islam tetapi di seluruh agama-agama “formal” dunia. Fundamentalisme agama adalah keinginan kuat kembali ke ajaran fundamental agama, dan upaya mempertahankan serta menegakkan kembali “duplikasi sejarah” pada kondisi saat ini.
Ada beberapa teori tentang fundamental dan sekuler. Kalaulah kita mengambil teori ortodoksy yaitu ajaran untuk mengembalikan prinsif-prinsif yang lama, dengan teori ini akan melahirkan fundamentalisme. Sedangkan kalau merujuk pada protestanism maka ajaran ini lebih condong melahirkan revolusi industri modern dan menolak berbagai TBC.
Diharamkannya pluralisme, liberalisme, dan terutama sekularisme menunjukkan kuatnya monopoli wacana revivalisme Islam khususnya di Indonesia. Untuk itu, kiranya dibutuhkan pemikiran Islam yang lebih berani, progresif dan maju. Model pemikiran seperti ini penting bukan saja untuk meruntuhkan hegemoni wacana fundamentalisme Islam tersebut, melainkan juga untuk mendobrak kejumudan berpikir umat agar mau bergerak maju dan prihatin terhadap keterbelakangannya selama ini, terutama dibandingkan dengan masyarakat modern barat.
Sekularisme sepadan dengan kata “pembebasan” (liberation). Maksudnya, sekuler adalah pembebasan umat Islam dari ikatan-ikatan ajaran agama yang bukan bersifat mendasar (ushuly), bersifat relatif, dan merupakan produk pemahaman atau ijtihad ulama masa lalu. Dan tidak menjadikan agama sebagai orientasi politik. Cak Nur juga melihat sekularisasi sebagai upaya untuk menanggalkan nilai-nilai yang berorientasi ke masa lampau dan mencari nilai-nilai yang lebih berorientasi kepada masa depan. Namun yang terjadi pada sekularisme, melahirkan konsep liberalisme juga sering dipahami “libertianisme”: kebebasan tanpa batas dan aturan.
Adapun metode yang penulis pakai ialah metode deskriftif, pengumpulan data terbaru dari berbagai buku, artikel, dan opini. Sehingga penulis mencoba mengkolaborasikan data-data tersebut. Oleh karena itu, penulis mencoba memaparkan antara sekularisme dan fundamentalisme.
Islam sebagai esensi akan terus bersemayam dalam batin manusia yang selalu pasrah, patuh, dan sadar akan kehadiran Tuhan. Namun, yang lebih populer adalah agama sebagai sistem yang mengandung ajaran-ajaran formalistik. Sehingga tidak mengherankan kalau bermunculan upaya melegalkan hukum Islam, yang pada dasarnya semacam imperialisme teologi. Imperialisme ini adalah ekspansi dan monopoli kebenaran teologis. Dan melahirkasn egoisme teologis antar kelompok.
A. Fundamentalisme
Dalam The shorter Oxford English Dictionary dijelaskan bahwa fundamentalisme dimaknai sebagai kepatuhan yang keras kepada ajaran ortodoks, dalam Kristen dimaknai kepatuhan kepada injil secara lìteral, yang menjadi dasar (fundamen) kepercayaan Nasrani, dan menentang terhadap leberalisme dan modernisme.
Sebagai istilah yang diproduksi dalam tradisi barat, maka istilah ini tidak cukup populer dalam tradisi Islam. Dalam Islam, fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-UshuIiyyah al-Islamiyyah (fundamentalisme Islam ), al salafìyah (warisan leluhur), al-Sahwah al Islamiyah (kebangkitan Islam ), al-Ihya al Islami (bangunnya kembali Islam), al Badil al Islami (alternatìf Islam). Dengan demikian secara umum fundamentalisme bisa dimaknai sebagai paham untuk kembali kepada sesuatu yang dipandang sebagai pokok, dasar, dan asas. Ketiga hal inilah yang dianggap sebagai sesuatu yang murni dan benar sehingga perlu dipertahankan mati-matian dari segala sesuatu yang bisa mengurangi predikat murni dan benar tersebut. Paham yang murni dan pokok tersebut hanya bisa dicari dari teks-teks literal suci. Upaya mempertahankan kemurnian tersebut kemudian dipahamì sebagai mempertahankan agama ìtu sendiri. Dengan keyakinan semacam itu pula, peran pendukung kelompok ini meyakìni bahwa perjuangan mereka tidakiah sia-sia dan meruapakan bagian dari jihad, dalam Islam, atau holy war, dalam Kristen. Kalaupun mereka kalah dalam perjuangan di dunia, maka di akhirat mereka akan mendapatkan jaminan kemuliaan di sisi Tuhan[1].
Kata fundamentalisme bila dìkaitkan dengan Islam, hingga kini masih problematic. Banyak kalangan Islam yang menolak istilah tersebut, bukan saja karena fundamentalisme berasal dari tradisi kristiani tetapi lebih dari itu, fundamentalisme yang dialamatkan kepada sebagian umat Islam dianggap sebagai konspirasi "barat" untuk menyeret Islam dalam lumpur sejarah.
Fundamentalisme kini bukan lagi sekedar kategori sosiologis pemeluk agama, tetapi di dalamnya terdapat muatan ideology yang menyiratkan kebencian, cemoohan, dan ejekan kepada sebagian umat Islam. Fundamentalisme sengaja dìciptakan untuk menghadang kemajuan Islam yang dianggap akan menjadi ancaman bagi barat pasca keruntuhan komunisme.
Sebagai tema sosiologis "Fundamentalisme" pada dasarnya merupakan istilah netral yang pada saat tertentu bisa dimaknai positIf ataupun negatif. Fundamentalisme dimaknai positif dalam arti bahwa istilah tersebut menunjukkan kelompok yang teguh memegang keyakinannya tentang kebenaran.[2] Sedangkan makna negatìf terletak pada kesulitan kelompok tersebut untuk melakukan akselarasi gagasan, negosiasi dan resistensi dengan kelompok lain yang dianggap sebagai lawan. Karena itu orang luar memandang bahwa kelompok "Fundamentalis" sebagai kelompok yang kaku dan tak kenal kompromi, meskipun asumsi seperti ini tidak selamanya benar.
Fundamentalisme dalam pengertian yang sangat elementer berkaitan dengan teks suci agama ini, sebenarnya bisa juga dialamatkan pada paham yang terdapat dalam Islam. Dalam pandangan mainstrem umat Islam, AI-Qur-an merupakan teks yang tertutup, sakral, tak boleh dikritik. Karena huruf-hurufriya diyakini sebagai wahyu yang sudah selesai. Dalam konteks inilah, Bernard Lewis menyebutkan, sejauh berkaitan dengan teks suci, pada dasarnya kaum muslim bersifat fundamentalistik. Tidak sebagaimana fundamentalis Kristen, kaum fundamentalis Islam tidak hanya menyandarkan kepada teks AI-Qur-an , tetapi juga kepada hadits-hadits nabi dan kumpulan ajaran teologis serta hukum yang diwariskan kepadanya. Tujuannya adalah menghapus segala aturan, norma sosial dan ketentuan yang dianggap tidak asli dari Islam dan yang telah terpengaruh arus modernisasi serta menggantinya dengan syariat Islam yang kaffah.
Ciri fundamentalisme, dikemukakan Fouad Ajami, yaitu kecenderungannya untuk “menafikan pluralisme”. Bagi kaum Fundamentalis, di dunia ini hanya ada dua jenis masyarakat, yaitu apa yang disebut oleh Sayyid Qutbh sebagai al-nidham al-Islami (tatanan sosial yang Islami) dan al-nidham al-jahili (tatanan sosial jahiliah). Antara kedua jenis masyarakat itu tidak mungkin ada titik temu. Karena, yang satu adalah haqq (benar) dan bersifat ilahiyah (ketuhanan), sedang yang lain adalah bathil (sesat) dan bersifat thaghut (berhala). Konsekuensi dari pandangan ini ialah, kaum fundamentalis cenderung untuk menolak eksistensi “bangsa-bangsa” berdasarkan perbedaan geografis, bahasa, warna kulit dan budaya. Kaum fundamentalis cenderung menggolongkan manusia hanya berdasarkan agama atau kepercayaan-kepercayaan yang dianutnya.
Akhirnya, kerangka yang diberikan oleh Marty, dengan beberapa kodifikasi, cukup relevan diterapkan dalam mengidentifikasi gejala “fundamentalisme Islam”. Prinsip pertama fundamentalisme adalah “oppositionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan –yang bukannya tak sering bersifat radikal—terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, apakah dalam tata nilai Barat pada umumnya. Acuan dan tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme Islam adalah al-Qur’an, dan pada batas tertentu al-Hadits.
Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika. Artinya, mereka menolak sikap kritis (liberal) terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal—sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam “kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.
Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.
Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai “as it should be” bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya—kalau perlu secara kekerasan—dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat “ideal”—bagi kaum fundamentalis Islam seperti pada kaum salaf—yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.
B. Sekularisme
Ada kalanya “manusia bertuhan” tidak meyakini agama sebagai aturan hidup, sehingga menjadi seorang deis atau sekularis. Namun ada kalanya “manusia bertuhan” melanjutkan perjalanannya intelektualnya dan menjadi “manusia beragama”.
Pandangan yang menolak peran Tuhan dalam kehidupan manusia adalah deisme (faith without religion). Seorang deis meyakini eksistensi bahkan keesaan Tuhan, tapi menolak peran Tuhan sebagai Pengatur. Deisme meyakini keberadaan Tuhan namun menolak aturan dan agama dari Tuhan, menolak perwahyuan, bahkan menolak mukjizat-mukjizat Tuhan. Deisme merupakan arus penolakan terhadap agama yang memiliki akar sejarah di dunia Barat. Ia telah berkembang pesat terutama sejak era pencerahan aufklarung dan renaissance dan revolusi industri di Inggris.
Sedangkan Sekularisme adalah pandangan yang meyakini adanya aturan Tuhan yang berlaku atas hamba-hambanya namun hanya terbatas pada aspek ritual yang sering juga disebut aspek vertikal. Dasar filsofis sekularisme adalah eksistensialisme Sartre, dan rasionalisme Descartes dan Pragamatisme William James, bahkan lebih jauh adalah anti metafisika Russell. Sekularisme telah dikenal sebagai aliran yang memisahkan fungsi agama dan kehidupan sosial politik.Istilah "deisme" muncul di Inggris menjelang pertengahan abad ke-6.
Sekularisme sebetulnya adalah sebuah istilah netral untuk merujuk konsep tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali diperkenalkan oleh George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas agama dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme, masing-masing agama dan negara memiliki otoritasnya sendiri-sendiri: negara mengurusi politik sedangkan agama mengurusi gereja.
Dalam perkembangannya, sekularisme menjadi konsep yang sangat efektif, bukan hanya dalam meredam konflik dan ketegangan antara kuasa agama dan negara, tapi juga dalam memberikan landasan pada demokrasi dan persamaan hak.[3] Sebuah demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu menerapkan prinsip-prinsip sekularisme dengan benar. Sebaliknya, demokrasi yang gagal atau buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip sekularisme secara benar.
Namun, sejauh ini trend penolakan terhadap agama masih tidak memberikan pengaruh yang cukup signifikan, bahkan ada indikasi nyata bahwa dunia Barat, yang semula merupakan simbol sekularisme sejak masa pencerahan dan sebagai akibat langsung Revolusi Industri, mulai gemar dan mencita-citakan kehadiran agama formal dengan ritus-ritus dan ajarannya yang teduh dan mampu membendung kerusakan sosial. "Jalan ketiga" yang dilontarkan oleh Antony Gidens dan diterapkan oleh Tony Blair, PM Inggris; atau munculnya sekte Kristen radikal pimpinan David Koresh di sebuah kota timur Waco, Texas, Amerika Serikat yang melakukan penyerbuan dan pembunuhan pada 19 April 1993; atau semaraknya studi tentang Buddhisme di Barat merupakan salah satu dari fenomena itu.[4] Gejala kultus yang merupakan salah satu ciri khas agama formal kini muncul di Amerika. Konon lebih dari 1000 kelompok fundamentalisme, yang gejala-gejalanya jelas mengarah kepada kultus. Termasuk peristiwa bunuh diri massal pengikut kultus People's Temple pimpinan James Jones pada tahun 1978 di sebuah hutan belantara Jones Town, Guyana, Amerika Serikat, yang diyakini sebagai “kiamat kecil”.
Penolakan terhadap agama memiliki akar historis dalam masyarakat manusia, terutama masyarakat Eropa. Trauma terhadap kesewenang-wenangan para tokoh agama yang memaksakan kehendak dengan kedok agama, telah menciptakan sebuah gerakan penolakan terhadap agama secara frontal dan radikal pada abad 18 dan 19 Masehi. Tibanya era pencerahan yang ditandai dengan revolusi Perancis dan revolusi Industri di Inggris telah menimbulkan kesan traumatik dan negatif terhadap agama secara keseluruhan. Pada gilirannya, muncullah sejumlah mazhab pemikiran dan filsafat dan berkembanglah sains dan teknologi secara pesat. Para penggagas dan penyumbang bibit sekularisme dalam Kristen banyak sekali, antara lain Dante (1469- 1527) dan Martin Luther (1483 - 1546),
Montesque, Voltaire, Rousseu mengajak manusia untuk meninggalkan agama wahyu. Bukankah Nietzche mengumukan "kematian Tuhan" sebagai usaha menyelamatkan manusia, Marx menganggap agama sebagai candu, demi menghapus eksploitasi kaum kapitalis, Comte menganggap agama sebagai bagian dari periode masa mitos dan folklor atau era sesudahnya, metafisika.
Salah satu wacana sekularisme adalah “desakralisasi”. Masyarakat dan individu sekular mengabaikan dan tidak meyakini adanya sesuatu yang sakral, padahal keyakinan akan sesuatu yang sakral merupakan titik kesamaan semua agama. Istilah “sakral” adalah ungkapan tentang kehormatan dan nilai spiritual di hadapan segala sesuatu yang hanya mengandung nilai material, seperti masjid, gereja, kuil dan tempat-tempat peribadatan agama lainnya dibandingkan dengan hotel, pertokoan, dan sejenisnya.
Tapi, yang perlu dipertanyakan ialah apakah Sekularisme juga problema yang muncul secara determinan dalam Islam atau masyarakat Islam? Kalau memang ya, kenapa harus bertaqiyah untuk menyatakan diri sebagai sekularis.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Seperti diketahui, dinamika hubungan agama dan negara telah menjadi faktor kunci dalam sejarah peradaban/kebiadaban umat manusia. Di samping dapat melahirkan kemajuan besar, hubungan antara keduanya juga telah menimbulkan malapetaka besar. Tidak ada bedanya, baik ketika negara bertahta di atas agama (pra abad pertengahan), ketika negara di bawah agama (di abad pertengahan) atau ketika negara terpisah dari agama (pasca abad pertengahan, atau di abad modern sekarang ini).
Pola hubungan ronde pertama dan kedua sudah lewat. Bahwa masih ada sisa sisa masa lalu, dalam urusan apa pun termasuk hubungan negara agama, bisa terjadi. Tapi, sekurang kurangnya secara teori, kini kita telah merasa cocok di ronde ketiga, ronde sekular, di mana agama dan negara harus terpisah, dengan wilayah jurisdiksinya masing masing. Agama untuk urusan pribadi, negara untuk urusan publik. Sejauh ini kita beranggapan hubungan sekularistik untuk agama negara merupakan opsi yang terbaik. Dalam pola hubungan ini, agama tidak lagi bisa memperalat negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan; demikian pula negara tidak lagi bisa memperalat agama untuk kepentingan penguasa.
Tapi apakah persoalan hubungan agama-negara sesederhana itu? Bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya merupakan "wisdom" yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan raja dan gereja, kiranya jelas. Bagi umat Islam sendiri, Barat atau Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar salah atau baik buruk. Barat bisa benar, Timur bisa salah; tapi juga bisa sebaliknya. "Kebaikan bukan soal Barat atau di Timur, melainkan soal ketakwaan" (Q: Al Baqarah/176). Tapi memang, sejak gagasan sekularisme ini didakwahkan ke Timur, umat Islam menjadi terbelah antara yang menerima dan yang menolak. Yang menolak umumnya karena kecurigaan terhadap apa saja yang datang dari Barat. Tanpa mencoba mengerti kesulitan masyarakat Barat sendiri selama bera¬bad abad dalam menata hubungan agama negara, mereka mencurigai sekularisme sebagai gagasan untuk memarjinalkan Islam dari kehidupan nyata.
Sementara itu, kelompok yang menerima berargumen bahwa seperti umumnya agama, Islam pun terbatas jangkaunnya pada urusan pribadi. Jika ia ditarik ke ruang publik (negara) akan membawa petaka seperti yang pernah terjadi di Barat. Sekularisme adalah pilihan terbaik jika kita ingin membiarkan negara dan agama dalam kewajarannya. Biarlah mereka mengurus tugasnya masing-masing; agama di wilayah privat, negara untuk wilayah publik. Mencoba memahami konteks sekularisme di Barat dan konteks Islam di Timur mungkin dapat membantu kita keluar dari cara pikir dokotomis yang naif. Pertama, dalam konteks Barat sekularisme adalah modus penyelesaian konflik antara otoritas lembaga negara di satu pihak versus otoritas lembaga agama dalam tubuh Gereja di lain pihak. Dalam Islam, otoritas keagamaan seperti gereja, lebih lebih gereja abad per¬tengahan yang monolitik dan sentralistik, tidak diketemukan.
Bukan tidak ada otoritas sama sekali, akan tetapi dalam mainstream Islam otoritas itu terdesentralisasi sedemikian rupa pada pribadi pribadi tokoh (ulama) atau pada organisasi-organisasi keagamaan yang satu sama lain bisa berbeda fatwa atau bahkan saling menolak. Oleh sebab itu tidak pernah bisa dikatakan bahwa ada satu masa dalam sejarah Islam dimana negara (sultan) sepenuhnya berhadapan dengan otoritas agama (ulama); Juga tidak pernah terjadi sebaliknya, otoritas agama sepenuhnya ditaklukkan oleh otoritas negara. Kedua, dalam konteks Barat abad pertengahan, sekularisme yang berkonotasi menghukum otoritas agama dan mengurungnya di ruang privat, memang beralasan. Pada waktu itu, agama (baca: Gere¬ja) telah menjadi instrumen dominatif bagi elite politik maupun ekonomi untuk mempertahankan previlagenya. Pada saat yang sama, agama telah kehilangan watak profetiknya sebagai pembela masyarakat, khususnya petani dan buruh yang tertindas.
Itulah sebabnya hubungan agama negara dalam abad modern di Timur umumnya dan di dunia Islam khususnya, tidak bisa begitu saja diacukan kepada pengalaman Barat dan dipecahkan dengan resep Barat, sekularisme itu. Tapi jangan salah. Dengan mengatakan begitu bukan berarti sekularisme musti kita tolak mentah dan kita kembali ke teokratisme, seperti usul kaum revivalis-fundamentalis. Kita tahu bahwa dalam teokratisme, secara formal negara ditaklukkan pada kepentingan agama, padahal kenyataannya ia ditaklukkan pada kepentingan elitenya belaka.
Jika di Barat sendiri sekularisme mulai dipersoalkan, maka bagaimana dalam Islam? Dari struktur internal ajaran Islam kita bisa membuat pemilahan beberapa tingkatan yang berimplikasi pada pola hubungan agama-negara yang berbeda.[5]
Pertama, ajaran yang bersifat privat, semisal soal keyakinan (akidah) kepada Allah, malaikat, takdir dan hari akhir. Keyaki¬nan keyakinan seperti ini adalah perkara yang benar benar pribadi; apa yang diyakini sesama muslim tentang Tuhan atau hari akhir, misalnya, tidak mungkin bisa diseragamkan antara satu orang dengan yang lain. Dalam hal ini negara bukan saja tidak punya kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak punya kemampuan apa pun untuk menjangkaunya.
Kedua, ajaran keagamaan yang bersifat komunal-keumatan seperti soal-soal peribadatan (doa, salat, pusa, haji dan yang terkait dengannya). Masuk dalam kategori ini adalah hukum agama tentang keluarga (al ahwal al syahsiyat). Dengan dalih apa pun, negara tidak borhak mengerahkan polisi untuk, misalnya, memaksa seseorang menjalankan salat atau puasa. Bahkan intervensi negara atau pemerintah yang selama ini terjadi dalam urusan penyeragaman hari raya atau soal keabsahan suatu perni¬kahan, adalah salah kaprah yang perlu segera diakhiri.
Ketiga, ajaran keagaman (Islam) yang bersifat publik, misalnya ajaran ajaran Islam tentang muamalat (etika perdata), jinayat (pidana) dan siyasah (etika mengelola kekuasaan dan kekayaan negara). Pada tingkat ajaran kategori inilah terbuka proses pengkayaan (enrichment) dan substansiasi hukum agama terhadap hukum negara.
Itulah kiranya yang bisa penulis sajikan, tak ada kata yang tak terlupakan selain kata ma’af, karena penulis pikir dalam tulisan ini kurang sempurna. Namun dibalik itu, penulis mencoba memberikan yang terbaik untuk tugas ini. 

Daftar Pustaka
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 109.
M. Dawam Raharjo. Sekularisme dan ,pluralisme.. Buletin kebebasan
Tarmidzi Taher, “Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam”, dalam buku Radikalisme Agama, (Jakarta:PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h. 31-32.
Artikel, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, ... h. 18.
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1996) h. 112.
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought, (Austin: University of Texas, 1982), h. 84

[1] Artikel, Yusril Ihza Mahendra, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, ... h. 18.
[2] Ibid
[3] M. Dawam Raharjo. Sekularisme dan ,pluralisme.. Buletin kebebasan. Hal.2
[4] Ibid
[5] Tarmidzi Taher, “Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam”, dalam buku Radikalisme Agama, (Jakarta:PPIM-IAIN Jakarta, 1998), h. 31-32.

Tidak ada komentar: