Budaya :Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi atau akal. Jadi, budaya adalah hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal.
Dalam bahasa Inggris, budaya disebut dengan culture. Culture berasal dari
bahasa latin colere yang berarti mengolah dan mengerjakan. Definisi ini
akhirnya berkembang menjadi segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan
merubah alam.
Guru besar antropologi mendefinisikan budaya adalah keseluruhan gagasan dan
karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari
hasil budi dan karyanya itu. Ini berarti menyangkut mentalitas atau sistem
nilai dalam masyarakat.
E.B Tylor mendefinisikan bahwa
budaya adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat-istiadat, kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan manusia sebagai
anggota masyarakat.
Edward T.Hall mengatakan, budaya adalah alat kehidupan bagi manusia, sehingga
tak ada satupun kehidupan yang tak tersentuh budaya.
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua
hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi
dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture). Rasa
yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaedah-kaedah dan nilai-nilai
kemasyarakatan yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam
arti yang luas. Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir dari
orang-orang yang hidup bermasyarakat. Cipta menghasilkan filsafat serta ilmu
pengetahuan.
Komunikasi :
Kata komunikasi atau communication dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin
communis yang berarti sama, communico, communication, atau communicare yang
berarti membuat sama. Istilah communis adalah istilah yang paling sering
disebut sebagai asal-usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata-kata
Latin lainnya yang mirip.
Pengertian komunikasi secara umum adalah suatu proses penyampaian pesan dari
komunikator (pembicara) kepada komunikan (pendengar) melalui suatu channel
(saluran) serta menghasilkan feedback (umpan balik).
Komunikasi diartikan secara luas sebagai suatu proses untuk berbagi pengalaman.
Budaya Komunikasi :
Berdasarkan definisi budaya Edward T.Hall (1959) yang menyebutkan bahwa budaya
adalah alat kehidupan bagi manusia. Budaya juga dikatakannya sebagai
kepribadian, cara seseorang memecahkan masalah, mengekspresikan diri, cara
berfikir, bahkan termasuk juga sistem transportasi, perencanaan kota.
Komunikasi dilakukan untuk menyampaikan maksud hati atau keinginan kepada orang
lain.
Bahasa adalah alat atau
perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau
berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat),
dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicara atau
orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat
istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan
dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Secara umum, bahasa berfungsi sebagai
alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan
adaptasi sosial.
Sama halnya dengan budaya,
komunikasi akhirnya dapat memperlihatkan kepribadian dari komunikatornya atau
dapat digunakan sebagai ajang mengekspresikan diri serta menyampaikan hasil
pemikiran manusia. Ringkasnya dapat disimpulkan bahwa budaya adalah komunikasi
dan komunikasi adalah budaya. Budaya komunikasi akhirnya mengarah kepada pola
atau bentuk gaya hidup. Bagaimana komunikasi menjadi suatu budaya yang
melahirkan suatu pola atau gaya hidup tersendiri dalam masyarakat. Pola atau
gaya hidup ini pun akhirnya menjadi suatu identitas tersendiri bagi suatu
masyarakat tertentu termasuk masyarakat Indonesia.
Dunia komunikasi juga sering
disebut sebagai budaya baru yang diciptakan oleh komunikasi-komunikasi modern.
Budaya baru ini dapat menjadi suatu masalah yang rumit karena asalnya dari apa
saja yang diungkapkan, disana juga muncul cara-cara berkomunikasi yang baru
dengan bahasa-bahasa yang baru, teknik-teknik yang baru dan psikologi yang
baru. Budaya komunikasi membuat dunia
menjadi lebih sempit, jarak jauh menjadi dekat dan apa saja menjadi tidak mudah
disembunyikan. Budaya komunikasi juga memungkinkan cepatnya akses penggabungan
budaya atau proses akulturasi budaya. Ikatan Sarjana Komunikasi menegaskan
bahwa budaya komunikasi harus disesuaikan dengan budaya lokal. Selain itu,
budaya komunikasi dapat ditata dengan berbagai konteks komunikasi dan
memanfaatkan tokoh masyarakat4.
Budaya Komunikasi
Indonesia
Budaya komunikasi di Indonesia secara dominan sifatnya adalah high context
culture. Budaya ini memfokuskan pemberian makna yang sangat tinggi pada konteks
atau pesan nonverbal. Budaya konteks tinggi ini membuat masyarakat kurang
menghargai pesan verbal (ucapan). Mereka akan lebih mementingkan bahasa tubuh
(nonverbal) saat berkomunikasi. Kalau perlu, orang lain (komunikan) diharapkan
dapat langsung mengerti bagaimana keinginan si komunikator tanpa harus
mengucapkan inti permasalahan yang dimaksud. Untuk mencapai inti dari
keinginannya, komunikator budaya konteks tinggi cenderung berbicara memutar.
Mereka justru menghindari penyampaian langsung substansi pokok keinginan.
Istilahnya, membiarkan orang lain menebak keinginan mereka melalui aspek
nonverbal yang lebih dominan ditonjolkan. Sebaliknya, jika ada orang yang
mengungkapkan keinginannya secara blak-blakan dan jujur, ia justru dicurigai
kasar atau ambisius. Orang itu cenderung dianggap ”berbeda” atau ”aneh” dalam
konteks yang mengarah negatif.
Peribahasa yang hidup di
masyarakat seperti ”sedikit bicara banyak bekerja”, ”tong kosong nyaring
bunyinya”, ”air beriak tanda tak dalam” atau ”sabdo pandita ratu” cukup
merefleksikan budaya konteks tinggi masyarakat Indonesia yang tidak menyukai
pembicaraan. Bahasa verbal hanya sekedar dilakukan untuk beramah-tamah,
mengingat Indonesia yang terkenal sebagai bangsa yang ramah. Terkadang, yang
diucapkan tidaklah terlalu penting untuk diucapkan, bahkan bertolak belakang
dengan tujuan komunikasi yang hendak dicapai. Yang penting ngomong atau nyapa.
Walaupun, sesuatu yang sudah diucapkan oleh komunikator sebenarnya tidak
mengharapkan untuk dipenuhi oleh komunikan. Inilah yang disebut sebagai budaya
basa-basi yang telah menjadi trademark tersendiri masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia adalah
kumpulan dari individu yang ”unik”. Mereka menyukai keindahan dan kemewahan, terlepas dari kemampuan untuk
mencapai sesuatu yang ”indah” dan ”mewah” tersebut. Keinginan untuk bisa
seperti bangsa-bangsa maju (baca:negara barat) sangat tinggi, sayang yang
ditiru adalah bagian permukaan yang tampak saja. Bagaimana akar atau dasar yang
dapat membentuk bangsa itu menjadi maju, kurang digali oleh Indonesia. Gemerlap
prestise bangsa maju, seolah membentuk rasa malas untuk mengkajinya (dalam hal
ini adalah budaya) lebih dalam lagi.
Gejala tersebut menyebabkan
masyarakat Indonesia sangat mudah untuk terbawa arus. Globalisasi yang berimplikasi pada perkembangan
teknologi dan komunikasi turut menjadi indikator hal tersebut. Pakar sejarah,
Prof Dr Taufik Abdullah mengungkapkan bahwa segala ragam keterbukaan yang
diperkenalkan dan dibina oleh proses globalisasi itu, menyebabkan gejala
kultural yang tak terelakkan, yakni homogenisasi dari budaya pop. Gejala ini
tidak hanya akan menyeragamkan selera, simbol, tapi juga akan melarutkan segala
batas identitas diri dalam keseragaman yang dangkal dan fragmentaris.
Sementara itu, kenyataan budaya
makin memperlihatkan sifatnya yang pluralistik. Masyarakat Indonesia mau tidak
mau juga akan dihadapkan pada situasi homogenisasi kultural yang hegemonik.
Siapa yang kuat akan menentukan corak dari keseragaman itu. Ketika ancaman
homogenisasi yang menyeragamkan ini semakin luas, lambat laun akan menimbulkan
suatu kesadaran akan rasa kehilangan yang tidak bisa diganti yakni kemampuan
untuk mendapatkan definisi diri sebagai bangsa. Lewat hegemoni media massa,
kebutuhan masyarakat ini akan tampak semakin menjadi-jadi. Media kemudian
menjadi “dunia kedua” bagi masyarakat karena isi media merupakan penjelmaan
pesan yang dianggap sebagai suatu realitas.
Kembali pada masyarakat Indonesia
yang enggan mengkaji sebelum meniru “budaya” bangsa lain. Era globalisasi membawa masyarakat dunia ketiga
pada modernisasi. Padahal, modernisasi adalah hasil rekonstruksi dari negara
dunia pertama (barat). Modernisasi menggunakan negara-negara barat sebagai
patokan perkembangan negara-negara di dunia. Hal ini memungkinkan proses
adopsi, difusi inovasi sehingga menimbulkan perubahan perilaku serta membentuk
kebiasaan-kebiasaan baru. Lebih dikenal dengan globalisasi budaya, kecanggihan
teknologi komunikasi yang dimekanisasi secara dramatis membuat suatu budaya
bisa masuk ke dalam lokalitas-lokalitas yang berbeda sehingga menjadi budaya
dunia. Sebagai contoh adalah memakai celana jeans, makan di Mc.Donalds atau
minum coca-cola. Ironisnya, negara-negara dunia ketiga menganggap hal tersebut
sebagai suatu prestise tersendiri. Serta dapat menunjukkan status sosial yang
tinggi. Padahal, di negara barat sendiri, celana jeans dipakai oleh koboy
(penggembala sapi) dan Mc.Donalds hanyalah tempat makan untuk masyarakat kelas
menengah kebawah, bahkan disebut sebagai makanan sampah (junk food).
Dalam hal komunikasi, masyarakat
Indonesia justru terlihat ke-minggris atau cenderung menjunjung “bahasa
inggris” ketimbang bahasa Indonesia. Lihat saja di dunia pendidikan, bahasa
Inggris bahkan menjadi mata pelajaran penting dan turut diikutkan dalam UAN. Bahkan kini berdiri pula sekolah-sekolah
yang memakai standar internasional. Standar internasional bukannya menerapkan
kurikulum atau materi pengajaran yang memakai standar internasional, melainkan
lebih mem”fasih”kan diri akan bahasa Inggris.
Budaya komunikasi semakin carut
marut dengan hadirnya tayangan-tayangan yang mencampuradukkan bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris. Sebagai contoh adalah MTV. Sebelum terbawa arus global,
bahasa Indonesia sebenarnya telah “terusik”. Keanekaragaman bahasa daerah,
kurang dapat “menyeimbangkan” bahasa Indonesia. Masyarakat Indonesia khususnya
kaum muda lebih suka menggunakan bahasa Indonesia yang sifatnya
“jakarta-centris”. Selayaknya bangsa Indonesia lebih mempertimbangkan
pernyataan ISKI yang menyebutkan bahwa budaya komunikasi harus disesuaikan
dengan budaya lokal.
Budaya komunikasi massa mulai
menunjukkan geliat sejak runtuhnya masa orde baru. Era reformasi membangkitkan
industri media massa, yang sebelumnya harus selalu bersiap menghadapi SIUPP
atau pembreidelan dari pemerintah jika menampilkan sesuatu yang bertentangan
dengan kebijakan pemerintah pada masa itu. Seiring dengan perkembangan
teknologi, media massa pun tak terbatas pada media cetak dan siar tapi juga
merambah media baru yakni internet. Internet mengandalkan jangkauannya yang
tanpa batas, sehingga dapat menarik khalayak lebih luas. Sayang, kehadirannya
justru disalahgunakan. Maraknya situs porno, adalah salah satu contoh
penyalahgunaan internet.
Kebebasan pers juga muncul, yang
membuat arus informasi menjadi bebas dan lebih luas. Media massa dapat
membentuk pola pikir seseorang akan sesuatu. Pemberitaan di media kadang dibuat
untuk menimbulkan opini publik dalam masyarakat. Media massa juga dapat
dijadikan sebagai tempat mempertontonkan budaya bahkan dapat menjadi ajang
pembentukan budaya baru dalam kehidupan masyarakat. Di Indonesia, pengaruh
media massa cukup kuat.
Budaya komunikasi di media massa
saat ini cenderung sarat dengan rumor (tentang suatu kondisi sosial) dan gosip
(tentang figur atau individu). Dedy N. Hidayat dalam artikelnya yang berjudul
“Rumor dan Ketahanan Komunikasi” di Kompas Online mengatakan bahwa rumor
tersebut dapat memicu adanya kerusuhan, prasangka dan konflik sosial,
ketidakpastian, kepanikan, serta iklim kehidupan sosial lain yang tidak
dikehendaki oleh banyak pihak. Rumor atau gosip yang padat membicarakan orang
lain, dapat membentuk masyarakat dengan pola pikir yang penuh dengan prasangka,
hanya menerima sesuatu tanpa mengecek kebenarannya. Sekaligus membentuk
masyarakat atau individu “omong kosong”. Hal ini juga dapat membentuk
ketidaktentuan arah, kesimpangsiuran makna, dan ketidakpastian nilai bersifat
ironis. Inilah yang dapat berujung pada penurunan kualitas budaya komunikasi.
Dalam hal politik, “omong kosong”
seringkali diucapkan oleh para elite politik. Bagaimana mereka mengumbar janji
demi sebuah tampuk kekuasaan. Tidak ada yang melakukan pembicaraan yang
menyentuh wacana pemikiran. Saat kampanye lebih banyak melakukan aksi nonverbal
yang menyentuh sisi emosional khalayak. Tidak seperti negara barat yang lebih
menekankan low context culture. Unsur nonverbal memang penting, namun mereka
lebih menghargai unsur verbal saat ingin mengutarakan keinginannya. Konteks
verbal pun tidak hanya sekedar mengumbar janji-janji kosong, namun melakukan
suatu perbincangan yang sifatnya menggerakkan otak. Sehingga, apa yang
disampaikan oleh elite maupun calon elite politik saat kampanye ataupun
membahas masalah perpolitikan lebih berbobot dan memancing partisipasi aktif
dari khalayak. Secara tidak langsung, partisipasi aktif tersebut tentu saja
dapat lebih mencerdaskan khalayak atau masyarakat. Mark Roeloef menyebutkan
hakikat politik adalah pembicaraan, konflik kepentingan diturunkan dan
diselesaikan melalui pembicaraan. Karena itu, budaya mendudukkan pentingnya
pembicaraan dan menghargai perbedaan berpendapat menjadi dasar yang kuat untuk
tumbuhnya demokrasi politik. Melalui pembicaraan itulah publik menjadi semakin
cerdas.
Pemerintah nampaknya belum dapat
menerapkan komunikasi yang komunikatif. Komunikasi dialogis sebagai akar budaya
komunikasi yang komunikatif belum diterapkan secara konsisten. Masih sering
terjadi misscommunication antara masyarakat dengan pemerintah, atau pejabat
publik dan anggota dewan yang mengarah kepada keterpurukan bangsa. Atas dasar
inilah budaya komunikasi sangat diperlukan keberadaannya untuk menghindari
konflik. Dengan mengedepankan budaya komunikasi, para pemimpin bangsa, pejabat
publik, dan anggota dewan leluasa mengetahui dan mengatasi berbagai kasus yang
menggejala di lingkungan masyarakat. Pejabat publik harus melakukan dialog
terus menerus untuk mendapatkan hasil positif berdasarkan kebenaran hakiki.
Mereka diharapkan mendengarkan penuh perhatian, mau menjawab pertanyaan dan
keluhan, bersedia menjelaskan situasi dan kondisi yang ada secara kontekstua.
Satu lagi yang unik dari
masyarakat Indonesia. Jika muncul satu fenomena komunikasi yang terdengar
“unik”, maka secara cepat hal tersebut akan langsung tersosialisasi dan melekat
pada masyarakat. Media sangat memegang peranan penting dalam proses sosialisasi
tersebut. Sebagai contoh adalah memasyarakatnya kata “Cape dehh”, “Gitu lohh”
atau yang terbaru “Hujan, becek gak ada ojek”. Kesemuanya adalah ungkapan baru
dalam bahasa Indonesia yang bersifat “jakarta-centris”. Tanggapan dari
masyarakat pun cukup unik. Mereka terlihat tidak menyukai namun selalu
menggunakan kata-kata tersebut dalam setiap kesempatan berinteraksi dengan
orang lain.
Fenomena “Hujan, becek
gak ada ojek”
Sejak kemunculan artis Cinta Laura di ranah hiburan Indonesia, berbagai media
seolah tak henti memberitakan artis kelahiran Jerman tersebut. Apalagi kalau
bukan menyangkut gaya bicaranya yang “lucu” karena keterbatasan bahasa
Indonesia Cinta yang sehari-hari berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Fenomena
Cinta Laura dengan “hujan, becek gak ada ojek”-nya yang sepintas seperti
dibuat-buat, nampaknya sangat menyedot perhatian masyarakat. Terbukti,
dimana-mana selalu saja kita mendengar celetukan fenomenalnya tersebut. Bahkan,
celetukan tersebut sekarang dijadikan ringtone telepon genggam. Tak hanya
masyarakat biasa, artis-artis ibukota pun turut terserang demam Cinta Laura.
Sebagian besar masyarakat
cenderung tidak menyukai hal tersebut, namun karena terdengar “lucu” mereka
tetap saja menggunakan kata-kata itu dalam pergaulannya. Bahkan, ada yang
terang-terangan mengolok-olok ucapan Cinta Laura itu sekaligus menyatakan
ketidaksukaannya pada Cinta Laura.
Anehnya, walaupun banyak yang
tidak suka namun fenomena ini (hujan, becek gak ada ojek) justru lebih cepat
membudaya dalam masyarakat. Logisnya, sesuatu yang dianggap buruk seharusnya
tidak dibudayakan atau dibuang saja tapi dalam hal ini justru melahirkan sebuah
ungkapan baru dalam berkomunikasi. Media massa turut menjadi indikator penting
dalam proses tersebut. Publikasi yang cukup berlebihan tentang Cinta Laura
akhirnya menciptakan opini tersendiri terhadap gaya berbicara Cinta Laura. Maka
tak heran, jika muncul pro dan kontra yang didominasi oleh kontra tentunya.
Cinta sendiri menanggapi hal ini
secara positif, menurutnya hal tersebut adalah bukti dari kepedulian fans
terhadap dirinya. Walaupun hal tersebut sempat merugikan dirinya. Sebagai
contoh, adanya pemberitaan di media yang menyebutkan jika dirinya marah karena
merasa diolok-olok oleh artis Luna Maya. Bukannya Luna Maya yang meminta maaf,
justru Cinta Laura yang lebih dulu melakukan konfirmasi bahwa pemberitaan
tersebut tidaklah benar.
Dari sini dapat disimpulkan,
bahwa budaya komunikasi Indonesia berputar-putar, sarat basa-basi dan sangat
high context. Fenomena Cinta Laura dapat membudaya karena masyarakat selalu
mengucapkannya secara verbal, namun dari gesture nonverbal dapat dilihat bahwa
mereka sangat tidak menyukai hal tersebut, bahkan terkesan mengolok-olok. Media
sangat berpengaruh dalam budaya komunikasi Indonesia.
Tidak hanya fenomena Cinta Laura,
kehidupan kita pun sebenarnya telah biasa dengan budaya basi-basi serta high
context seperti itu. Majas-majas memperhalus bahasa pun telah banyak diajarkan
sejak duduk di bangku sekolah. Salah satunya adalah majas litotes, yang intinya
merendahkan diri dari keadaan yang sebenarnya. “Mampirlah di gubuk kami” tapi
kita mampir ke rumah bertingkat atau “Makanlah dengan lauk seadanya” padahal
lauk pauk yang tersedia adalah ayam, daging atau ikan ; adalah beberapa contoh
dari majas litotes yang sangat kental dengan budaya basa-basi.
Orang Indonesia rata-rata
memiliki rasa sungkan yang sangat tinggi. Salah satu sinetron di SCTV yang
berjudul “Susahnya Bilang Tidak” adalah contohnya. Disitu tokoh utama sangat
susah untuk menolak permintaan dari teman-temannya. Suatu kali, salah seorang
temannya ingin meminjam sepatu yang baru ia beli, padahal belum sekalipun ia
pakai. Raut wajahnya sempat mengguratkan penolakan terhadap keinginan temannya
tersebut, tapi akhirnya ia tetap meminjamkan. Setelah sepatu tersebut berhasil
dipinjam, nampak ia begitu lesu walaupun sebelumnya dia tersenyum saat
meminjamkan sepatunya.
Budaya komunikasi yang berisi
unsur basi-basi sebenarnya tidak apa-apa, karena dapat menunjukkan
keramah-tamahan terhadap orang lain, yang secara tidak langsung dapat memupuk
rasa solidaritas ketimbang individualistik. Namun, jika hal itu diterapkan
secara berlebihan maka akan dapat menjadi tameng bagi diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar