Dimanakah jin, iblis, setan—di Indonesia
ketiganya disebut pula dengan istilah “hantu”—itu bersemayam? Jawaban yang
paling gampang, mungkin, di dunia mistik dan klenik. Sebuah dunia yang
mempertontonkan irasionalitas, hal-hal ajaib, ihwal yang “tak ada logika” di
hadapan kita. Sebuah “dunia lain” yang kita perlakukan sebagai “antara ada dan
tiada”, dan kita pahami dengan “percaya nggak percaya”.
Maka,
pengetahuan tentang mistik dan klenik ini hanyalah pengetahuan yang dibenarkan
bagai legenda atau mitos. Diceritakan lintas generasi dan menjadi kisah yang
“konon” semata, namun mustahil diilmiahkan. Seperti folklor atau tradisi lisan.
Ya, kita mendengar ceritanya dari banyak orang dan beragam penutur. Namun,
tetap saja kepastian yang didapat hanya seperti meraba-raba, bagai bayangan
yang tak-terang alias kabur, akan tetapi kisahnya terus hidup atau terdengar dari
masa ke masa. Melintasi waktu dan selalu saja ada yang mempercayainya.
Tak bisa
diilmiahkan? Ya, karena memang jin, iblis, setan bukan makhluk yang fisik
(metafisik?), non-biologis, dan tak bisa dicerap oleh panca-indera manusia.
Padahal, syarat mendasar bagi sebuah keilmiahan adalah adanya wujud fisik,
kimiawi, atau biologis sehingga eksperimentasi menjadi mungkin dan penyelidikan
ilmiah dapat diterapkan.
Oleh karenanya,
pengantar ini hanyalah sebuah pengantar ringan yang tanpa tendensi ilmiah,
tidak juga ideologis mungkin (kalaupun tuduhan itu ada), atau mengklaim satu
sisi kebenaran, agama misalnya, meski wilayah tersebut menjadi salah satu
referensi dan spirit pengantar ringan ini.
Sebagian ahli
berpendapat bahwa mistik atau klenik sesungguhnya merupakan fenomena khas
masyarakat agraris seperti Indonesia. Fenomena tersebut merupakan kekayaan
budaya dari masyarakat yang sangat kental dengan nilai-nilai tradisi. Tradisi
yang merupakan warisan asli bumi nusantara yang berakar pada kepercayaan
“animisme” dan “dinamisme”. Bila yang pertama merupakan kepercayaan akan adanya
arwah leluhur atau nenek moyang, maka yang kedua adalah kepercayaan terhadap
kekuatan gaib yang menghuni tempat-tempat atau benda-benda tertentu, seperti
goa, rumah tua, atau pohon besar.
Tak heran bila
slametan dan sesajen menjadi ritual tradisi yang sering dilekatkan pada
masyarakat pedesaan. Hingga kini, acara slametan dan upacara-upacara adat yang
menggunakan sesajen masih kerap dilaksanakan. Baik sebagai ungkapan rasa syukur
atas anugerah alam dan tanah yang subur yang nampak dari hasil pertanian dan
laut, maupun dilakukan sebagai ikhtiar tolak bala, pembuang sial, atau
penghindar dari musibah. Ini menunjukkan betapa akrabnya masyarakat kita
terhadap sesuatu yang mistik atau klenik.
Tentu saja,
mistik atau klenik yang bermuara pada kepercayaan terhadap yang adikodrati,
yang gaib, adalah sebuah kepercayaan yang setua umur manusia dan peradaban.
Sebab, kepercayaan pada yang gaib adalah muara keimanan dan keberagamaan
seseorang. Bukankah Tuhan itu sesuatu yang gaib? Bukankah malaikat,
surga-neraka, dan alam-sesudah-mati juga bagian dari yang gaib, yang tidak
kasat-mata atau tercerap oleh indera manusia? Bukankah jin, iblis, dan setan
adalah juga gaib?
Maka, tak heran
bila kemudian berkembang keyakinan-keyakinan pada diri manusia bahwa ada alam
lain selain alam manusia. Yaitu dunia makhluk halus yang dihuni oleh makhluk
selain manusia. Dunia yang kemudian menghuni ruang fantasi dan imajinasi
manusia. Dan fenomena tersebut ada di seluruh belahan dunia, tak terkecuali
Eropa dan Amerika yang dikenal sangat modern dan rasional.
Indikasi yang
paling sederhana adalah adanya orang-orang yang dianggap mengetahui dunia gaib,
mereka yang memiliki kekuatan supranatural. Mereka yang juga dikenal dengan sebutan
dukun, paranormal, magician, “orang pintar”, dan sebutan-sebutan lain yang
nyaris tidak berbeda arti. Mereka ada dalam komunitas-komunitas masyarakat di
seluruh penjuru dunia.
Indikasi
sederhana lainnya mungkin film-film horor yang ada di setiap negara dan semua
benua. Meski berbeda wujud dan penampakan yang ditampilkan, namun tetap saja
eksplorasi yang dilakukan oleh film-film tersebut adalah pada ranah yang sama:
alam gaib, mistik, atau supranatural.
Fenomena mistik
atau klenik didukung oleh adanya kegaiban dari makhluk yang berada di luar alam
manusia, yaitu alam jin, iblis, dan setan yang keberadaan dan eksistensinya
dijamin oleh kitab suci. Interaksi yang terjadi antara kedua alam, alam manusia
dan alam di luar manusia, melahirkan suatu issue: penampakan-penampakan yang
kemudian diistilahkan dengan nama tertentu sesuai dengan kondisi dan budaya
masyarakat setempat. Karena itulah di Indonesia terdapat beragam nama hantu
yang mempunyai perwujudan dan kekhususan masing-masing. Itulah salah satu yang
mendasari penerbitan ensiklopedi mini ini.
Sekali lagi,
dunia hantu tidak hanya dikenal oleh masyarakat Indonesia. Di Cina ada yang
namanya vampir, di Amerika dan Eropa ada drakula. Keduanya adalah mayat hidup
yang menghisap darah. Di Afrika ada vodoo. Singkatnya, itu berarti eksistensi
dunia gaib memang selalu berjalan pararel dengan eksistensi manusia.
Maka, fenomena
gaib memang mau tidak mau harus kita akui keberadaannya. Hanya mungkin, sebagai
insan beragama, sudut pandangnya yang harus diluruskan. Sudut pandang terhadap
alam gaib yang dibiarkan liar, akan melahirkan opini dan persepsi yang salah
kaprah tentang dunia gaib, terutama kepada apa yang kemudian disebut sebagai
hantu.
Sebab, pada
dasarnya hantu itu adalah iblis, setan, atau jin. Makhluk ciptaan Tuhan yang
memang mendapatkan lisensi untuk menganggu, menggoda, serta menyesatkan manusia
dari rel kebenaran agama, sampai hari kiamat tiba. Makhluk yang menganggu
manusia dalam berbagai bentuk, yang membuat manusia selalu dalam keragu-raguan
dalam mensikapi segala sesuatu, terutama keragu-raguan terhadap kemahakuasaan
Tuhan. Iblis, menyesatkan manusia dalam hal meyakinkan manusia bahwa ada
kekuatan lain selain kekuatan Tuhan yang dapat menciptakan takdir, mengubah
nasib, serta memberi keberuntungan dan kebahagiaan.
Dalam kitab
suci, dalam hal ini Alquran, disebutkan bahwa hantu atau iblis diciptakan dari
api (QS. Al-A’raf: 12). Namun, Alquran tidak menyebutkan apa dan bagaimana
bentuknya, apakah seperti Pocong, Genderuwo, Drakula, Kuntilanak atau yang lainnya.
Karenanya,
lahir salah satu pemahaman: bahwa semua bentukan-bentukan tersebut adalah
ciptaan fantasi dan imajinasi manusia itu sendiri. Melalui pemahaman ini, maka,
iblis tak ubahnya berupa energi yang selalu mengalir dalam setiap detak jantung
kehidupan manusia. Seperti halnya udara yang bisa memasuki apa saja dan
menempati apa saja. Zat yang bisa mewujudkan dirinya menjadi apa saja seperti
yang ada dalam benak serta persepsi kita. Maka ketika
muncul berbagai fenomena hantu, seperti Pocong, Kuntilanak, Genderuwo, atau
Wewe Gombel, sesungguhnya bukan itu wujud iblis yang sesungguhnya. Itu adalah
bentukan dan istilah yang diciptakan oleh imajinasi manusia belaka. Seperti
ketika masyarakat meyakini adanya keanehan di sebuah pohon tua angker, yang
kemudian diyakini sebagai tempat tinggal makhluk besar berwarna hitam, kemudian
ada yang menyebutnya dengan “Genderuwo”, lantas muncullah nama makhluk itu
sebagai Genderuwo.
Secara
sederhana, bila mengikuti logika di atas, keyakinan tentang adanya Genderuwo
yang terus-menerus, akan didengarkan oleh iblis. Maka, berjalanlah misi iblis
untuk mengganggu manusia. Ia kemudian akan membentuk dirinya menjadi makhluk
yang ada dalam persepsi orang atau masyarakat tersebut. Selanjutnya, iblis akan
menggunakan kekuatannya untuk melakukan atraksi gaib agar memperkuat persepsi
masyarakat terhadap eksistensinya. Setelah iblis berhasil menjadi salah satu
bentukan hantu, maka tinggal selangkah lagi: menggiring manusia kepada
kekufuran, mengingkari keberadaan Tuhan.
Jika logika ini
diteruskan, maka wajar bila kemudian lahir tempat-tempat yang dikeramatkan yang
kemudian dijadikan pemujaan untuk mencari pesugihan: harta (kekayaan), tahta
(jabatan), dan wanita (jodoh). Pemujaan itu menjadi mungkin ketika keimanan
terhadap Tuhan dengan keesaan dan kemahakuasaannya melemah, atau mungkin sirna
sama sekali. Paham animisme
dan dinamisme yang melatarbelakangi tradisi dan kebudayaan masyarakat
Indonesia, membuat fenomena hantu begitu mudah merasuk ke dalam pikiran dan
persepsi masyarakat, sehingga beragam hantu muncul dalam tradisi bangsa kita. Kemudian buku
ini terbit. Tentunya bukan sebagai tuntunan gaib, tapi sekadar sebagai
dokumentasi tentang kekayaan tradisi bangsa.
Belum semua
nama hantu di seluruh wilayah Indonesia berhasil dituliskan. Karenanya, buku
ini kami beri nama Ensiklopedi Mini Hantu Indonesia. Penambahan nama-nama lain,
terutama dari pembaca budiman, pastinya akan memperkaya penyusunan ensiklopedi
mini ini. Maka, sumbangan item untuk buku ini dari pembaca budiman tentunya menjadi
kebanggaan besar dan kebahagiaan bagi kami (silakan dialamatkan ke email
penyusun).
Sesuai namanya:
Ensiklopedi Mini Hantu Nusantara, maka ensiklopedi mini ini hanya memberikan
deskripsi singkat dan seringkali nama-nama yang dimuat tanpa diberikan gambaran
penampakan yang rinci. Karena memang ensiklopedi mini ini disusun berdasarkan
cerita-cerita dan tuturan yang berkembang di masyarakat. Kalaupun ada perbedaan
deskripsi di lain tempat atau daerah, atau mungkin nama berbeda namun
penampakannya sama, tentunya mesti dimafhumi bahwa dalam kaitan dengan dunia
kegaiban tidak ada pakem yang bersifat mutlak.
Yang pasti,
kehadiran ensiklopedi mini ini bukan untuk melegitimasi dan melestarikan
keyakinan yang berkembang dalam masyarakat perihal hantu-hantu yang beraneka
nama dan jenisnya. Karena keyakinan itu menjadi hak masing-masing orang untuk
apakah ia mau mempercayai fenomena penampakan hantu yang beragam itu ataukah
tidak.
Ensiklopedi
mini ini sekadar menegaskan bahwa keyakinan akan hantu itu bersifat universal—mendunia:
lintas negara, bahkan benua. Namun, wujud, bentuk, dan penampakannya bersifat
kontekstual dan kultural. Sesuai dengan bahasa, tradisi, bahkan letak geografis
masyarakat setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar