Diperingati namun tidak dijiwai, sepenggal
kalimat itulah yang dapat penulis awali dalam tulisan ini. 66 tahun sudah
Indonesia Merdeka dari penjajahan yang berlangsung ratusan tahun lamanya, kini
jejaknya tidak hilang begitu saja, kenapa?, karena babak kedua dari penjajahan
yang hakiki baru saja dimulai. Bentuk-bentuk penjajahan yang seringkali penulis
anggap lebih sadis dibandingkan dengan penjajahan pra kemerdekaan.
Puluhan ribu bahkan ratusan ribu rakyat
Indonesia tewas karena melakukan perjuangan maupun disiksa oleh penjahat-penjahat Belanda, Inggris cs dan
Jepang selama menjajah nusantara. Teruntuk bagi para pejuang kemerdekaan,
mereka rela meninggalkan istri, anak, orang tua, dan harta untuk merebut
kemerdekaan. Hal terbesar adalah mereka mengorban keringat, darah bahkan nyawa
untuk membela, memperjuangkan rakyat Indonesia bebas dari belenggu penjajahan
dan penindasan.
Seberapa pentingkah kemerdekaan bagi rakyat
Indonesia pada saat itu? Hanya satu kalimat ”Merdeka atau Mati!”. Merdeka dalam
artian merdeka secara politik, berdirikari dalam bidang ekonomi, dan
terbebasnya belenggu penindasan dan kemiskinan. Untuk mencapai itu semua,
segenap rakyat Indonesia dari ujung Aceh hingga ujung Papua yang terjajah oleh
Belanda selama 350 tahun terus berjuang dan bertempur. Semua suku melakukan
usaha yang sama untuk mengusir penjajahan (Belanda, Jepang, NICA). Atas darah,
nyawa dan harta, maka berdirilah NKRI yang merupakan hasil perjuangan segenap
bangsa Indonesia. Berdirinya NKRI merupakan hasil akumulasi perjuangan segenap
suku, agama dan kelompok di Indonesia.
Bedanya dengan sekarang, penjajahan
dilakukan oleh bangsanya sendiri. Keteladan dan rasa penghormatan terhadap
pahlawan kemerdekaan luntur dengan sendirinya. Terbukti dengan makin banyaknya
tidakan tidak bermoral yang dilakukan dari tingkat paling bawah hingga paling
atas. Kebutuhan masyarakat yang semakin terdesak tidak menjadi desakan bagi
pengambil kebijakan. Kita sudah kehilangan Pahlawan, karena Pemerintah lebih
baik mencari aman dari pada mengeluarkan kebijakan yang berlawanan dengan
kehendak asing dan atau korporat.
Pemerintah boleh saja menyemarakkan empat
pilar bangsa untuk diketahui dan dipahami oleh masyarakat banyak, namun
kemudian hal tersebut menjadi sangat tidak relevan apabila tidak diiringi
dengan pembangunan yang nyata. Beberapa bulan lalu terdengar sekelompok warga
yang memancangkan bendera Malaysia di perbatasan Indonesia. Mereka menggungat
bukan tidak beralasan, karena memang kebijakan pemerintah yang tidak merata
membuat sebagian daerah khususnya daerah perbatasan, terdiskriminatif dan lama
kelamaan akan menyingkir.
Degradasi moral, perilaku diskriminatif
serta koruptif merupakan masalah tersendiri. Namun, peringatan Hari
Pahlawan merupakan momen yang sama pentingnya dengan esensi peringatan
tersebut. Apa itu? Semangat revolusioner, semangat berjuang, semangat berkorban
dan berkarya bagi bangsa dan negara. Itulah esensi. Itulah nilai moral yang
harus ditanamkan pada rakyat, terutama para pemimpin. Janganlah mencari
‘makan’, ‘intan permata’, ‘prestise’ di kursi kekuasaan.
Karena situasi bangsa dan negara sudah
begini bobrok, maka kita semua perlu mengangkat tinggi-tinggi jiwa agung dan
revolusioner yang terkandung dalam Hari Pahlawan. Pahlawan seperti apa?
Pahlawan disini adalah orang yang berjuang dengan keringat, darah bahkan nyawa
tanpa pamrih demi kepentingan yang lebih besar, kepentingan bangsa dan negara.
Dalam berbagai kesempatan Bung Karno menjadikan Hari Pahlawan sebagai sarana
untuk mengingatkan kepada seluruh bangsa (terutama angkatan muda) bahwa sudah
banyak pejuang-pejuang yang telah gugur, atau
mengorbankan harta-benda dan tenaga mereka, untuk mendirikan negara RI.
Mereka rela berkorban, supaya kehidupan rakyat banyak bisa menjadi lebih baik
dari pada yang sudah-sudah. Mereka telah berjuang jauh sebelum selama
revolusi kemerdekaan 1945, untuk menjadikan negara ini milik bersama, guna
menciptakan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah subhanahuwata’ala.
Kita boleh berkata, Demokrasi adalah sistem
yang sampai hari ini masih cukup relevan untuk dijadikan sebuah kebijakan dalam
bernegara, namun perlu juga diingat, bahwa demokrasi menuntut keadilan, HAK dan
tanggungjawab setiap elemen bangsa, khususnya pemerintah untuk bisa menghidupi
dan mencukupi segala kebutuhan rakyat. Tidak bisa tembang pilih. Melalui
peringatan Hari Pahlawan 10 November, mari kita tekad bersama untuk menjunjung
tinggi semangat revolusioner dalam mengabdi kepada kepentingan rakyat, bangsa
dan negara.
Ganyang
koruptor! Ganyang Kemalasan! Ganyang pejabat publik busuk!
Selamat
Hari Pahlawan. Bangkitlah Indonesiaku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar