Di saat teknologi
komunikasi massa mulai berkembangan sangat pesat pada tahun 1960-an timbul
berbagai perbedaan pendapat mengenai efek komunikasi masa di kalangan para
tokoh-tokoh atau pakar-pakar ilmu komunikasi yang di sebut mazhab atau aliran.
Terdapat dua mazhab yang berbeda pendapat mengenai efek tersebut, yaitu mazhab
Frankfurt dan Mazhab Chicago.
Mazhab Frankfurt
adalah Mazhab atau aliran yang berasal dari negara Jerman. Mazhab Franfurt
dengan tokoh-tokohnya Th. Adorno, M. Horkheimer, W. Benjamin, P. Lazarsfeld,
dan M. Marcuce dari Institut Frankfurt untuk penelitian sosial, penelitiannya
dinamakan penelitian kritik (critical research) yang menampilkan teori
komunikasi kritik.
Yang dijadikan objek
studi adalah peranan media massa dalam kehidupan modern dengan filosofi kritik
dalam bentuk lain terhadap kritik Karl Marx. Bukan saja determinisme ekonomi
yang ditentangnya, tetapi juga positivisme empirik.
Teori komunikasi
kritik muncul ketika terjadi aksi-aksi mahasiswa di Eropa Barat pada tahun
1960-an khususnya di Jerman pada tahun 1967 yang menuntut demokratisasi
universitas. Aksi-aksi itu kemudian dilancarkan juga kepada media massa yang
dianggapnya tidak memperdulikan ketertiban, hukum, tidak mengindahkan hakikat
hasrat politik para mahasiswa, terutama pada media cetak.
Teori komunikasi
kritik itu semakin semarak, setelah muncul Jurgen Hubermas. Hubermas dikenal
sebagai filsuf masa kini tentang kritisnya terhadap pemikiran Marxis. Dalam
hubungan ini sebagai pengganti paradigma kerja, Habermas mengacu kepada
paradigma komunikasi.
Implikasi dari
paradigma baru ini adalah memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog
komunikatif dan tindakan-tindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Hal
ini bertolak belakang dengan teori-teori Marxis klasik yang menempuh jalan
revolusioner untuk menjungkirbalikan struktur masyarakat demi terciptanya
masyarakat sosialis yang dicita-citakan. Habermas menempuh jalan konsensus
dengan sasaran terciptanya ”demokrasi radikal”, yaitu hubungan-hubungan soisal
yang terjadi dalam lingkup komunikasi bebas kekuasaan.
Dampak Teori
Komunikasi Kritik terhadap perkembangan ilmu komunikasi ialah timbulnya
kesadaran bahwa komunikasi massa dan media massa harus dipelajari secara
konteks sosial agar dapat diperoleh latar belakang historis – ekonomis –
politik bagi fenomena komunikasi massa.
Mazhab Chicago adalah
Mazhab atau aliran yang bewrasal dari Amerika Serikat. Mazhab Chicago
tokoh-tokohnya Robert5 Ezra Park, Harold D. Lasswell, Bernard Berelson, Robert
K. Merton, Daniel Lener, Ithiel Da Sola Pool, Wilbur Schramm, Charles Wright,
David Berlo, dan lain-lain.
Mazhab Chicago dengan
positivisme empirik menitikberatkan penelitiannya pada pemecahan masalah
kriminal, prostitusi, dan masalah-masalah lainnya yang timbul akibat
industrialisasi dan urbanisasi yang berlangsung sangat cepat di Amerika.
Pada masa puncaknya
kejayaan Mazhab Chicago, penelitian komunikasi banyak dilakukan dengan metode
kuantitatif, antara lain sebagai akibat dari pendanaan yang disediakan oleh
sponsor. Sebagai konsekuensinya, penelitian yang semula merupakan kegiatan
kreatif perorangan menjadi pekerja secara borongan. Penelitan banyak dilakukan
terhadap persuasi, propaganda, dan efek langsung dari media massa pada
khalayak. Penelitian komunikasi dengan penekanan pada efek langsung itu,
merupakan pengaruh model linear dari Shannon dan Weaver.
Aliran tersebut
menyadari bahwa media komunikasi memiliki keperkasaan dalam mempengaruhi
masyarakat. Oleh karena itu media massa perlu melakukan penyempurnaan secara
sinambung agar acaranya, pengolahannya, penyajiannya, dan penyebarannya menjadi
lebih efektif dan efisien.
Penelitian yang
dikembangkan oleh Mazhab Chicago dijuluki penelitian administratif
(administrative research), yakni penelitian berdasarkan jasa. Karena disponsori
atau didanai maka masalah yang diteliti tidak ditentukan oleh si peneliti
sendiri, melainkan oleh sponsor yang memesannya.
Jika kita bandingkan
aliran empirik ini dengan Mazhab Frankfurt yang beraliran kritik, tampak bahwa
apabila aliran empirik menekankan pada efek komunikasi pada khalayak dengan
melakukan analisis isi (content analysis) dalam rangka menarik kesimpulan tentang
efek komunikasi, maka aliran kritik pada pengawasan sistem komunikasi. Jadi,
jika aliran kritik melakukan analisis isi, tujuannya adalah untuk mengambil
kesimpulan tentang lembaga media massa yang menyebarkan pesan komunikasi, bukan
untuk mengetahui efek komunikasi.
Kritik Mazhab
Frankfurt terhadap Mazhab Chicago, antara lain menyatakan bahwa penelitian
komunikasi massa yang positivistik empirik oleh Mazhab Chicago yang tidak
menggunakan teori sosial secara umum tidak dapat mengkaji fenomena-fenomena
komunikasi massa.
Perspektif
Mekanistik
Sejak ilmu sosial
berusaha masuk ke dalam masyarakat ilmu yang ilmiah itu, maka langkah pertama
yang logis adalah meniru panduan teoritis dan metodologis dari ilmu fisika.
Fisika yang dominan pada beberapa abad merupakan perspektif mekanistik, umumnya
dikenal pada waktu sekarang sebagai zaman ”fisika klasik”.
Seperti halnya
kebanyakan perspektif ilmiah, mekanisme mulai dari konseptualisasi keadaan yang
’ideal’ : yakni, para penganut paham mekanistis akan berpegangan kepada asumsi
epistemologis dan aksiologis tertentu tentang keadaan dunia ini. Keadaan yang
ideal merupakan asumsi – ia lebih merupakan kebenaran yang analitis daripada
yang empiris.
Para ahli teori dan
filosof (misalnya, Bregmann, 1957) sering mengasosiasikan mekanisme dengan
kuasalitas ; idealisme mekanistis menganggap kuasalitas yang menganggap
kuasalitas yang menyebabkan adanya hubungan prinsipal antar konsep atau
fenomena dalam pengertian bahwa suatu pernyataan teoritis, yang dikemukakan
secara mekanistis, akan mengharuskan, ”A menyebabkan B”.
Ada dua prinsip dari
arti pentingnya transivitas fungsi. Karena A mempengaruhi B, B mempengaruhi C,
C mempengaruhi D, dan seterusnya, maka fungsionalisasi mekanistis bersifat
linear. Prinsip kedua dari transivitas tersebut berkaitan dengan identitas
fungsional dari setiap komponen submekanisme itu sendiri.
Jika mekanisme dan
fungsionalisme bergabung menjadi satu, maka fungsi komponen mekanistis secara
transitif saling berhubungan satu dengan lainnya.
Salah satu jabaran pokok
fisika klasik (dan karenanya disebut idealisme mekanistis) adalah eksistensi
material dari wujud tertentu. Mekanisme memang menunjukkan adanya konsepsi
materialisme, yakni wujud-wujud yang dikonseptualisasikan sebagai materi.
Implikasi dari asumsi
materialistis mekanisme yang pertama, wujud itu sendiri bertahan sepanjang
waktu sebagai substansi material. Kedua – dari materialisme, pemberian tekanan
pada aksi fisik. Selanjutnya dari doktrin materialistis mekanisme menyangkut
konsep fungsional dari aspek waktu.
Suatu proposisi
tambahan yang, barangkali, secara kebetulan dapat membuktikan mekanisme bahwa
semua wujud memiliki atau dipandang mempunyai eksistensi material/fisik adalah
doktrin reduksionisme. Reduksionisme mengasumsikan bahwa apa yang ada dalam
realitas dapat dianalisis ke dalam unit yang semakin kecil.
Perspektif komunikasi
yang dianut oleh sebagian besar orang, termasuk orang awam maupun para ahli
berisi dosis mekanisme yang kuat. Tambahan lagi, kepopuleran mekanisme dapatlah
dipahami secara penuh. Ia mudah dipergunakan bagi pembentangan secara visual
dalam bentuk model yang cukup terdiri dari kertas dan pensil saja, yang jelas
berkat penekanannya yang ada padanya atas sifat spasialnya.
Cara atau sarana
pengirimannya, yakni, ”jalan” yang dilalui oleh pesan, disebut saluran. Saluran
ini menghubungkan titik asal pesan tersebut, atau disebut sumber atau pengirim,
ke titik tujuan, si penerima atau responden. Karena komunikasi khususnya
melibatkan pertukaran pesan yang kontinu, maka sumbernya menjadi si penerima
dan si penerima menjadi sumber pada saat yang sama dan berlangsung secara
simultan.
Titik sentral dari
model mekanistis komunikasi adalah unsur penyampaian – gerakan pesan dari
tempat ke tempat lainnya. Setiap komponen komunikasi terletak pada saluran.
Para komunikator saling dihubungkan oleh adanya saluran.
Saluran yang
bertindak menghubungkan sumber/penerima adalah jelas mempunyai arah (ingat
analogi dengan jam berjalan). Pesan mengalir dari satu orang atau komunikator
kepada yang lainnya dalam arah tertentu, memberikan dampak pada ujung
penerimaan. Kelinieran arah saluran ini jelas mendorong penyimpulan kuasi –
kuasalitas, yakni, bahwa suatu sumber/pengirim mempengaruhi atau berbuat
sesuatu pada si penerima/responden.
Faham mekanistis
tentang hambatan dan kegagalan komunikasi lebih namyak timbul dalam pikiran
sehari-hari kita daripada dalam praktek studi ilmiah yang serius terhadap
fenomena komunikatif.
Perspektif mekanistis
komunikasi manusia menekankan pada unsur fisik komunikasi, penyampaian dan
penerimaan arus pesan seperti ban berjalan di atas sumber/ para
penerimanya.semua fungsi penting komunikasi terjadi pada saluran, lokus,
perspektif mekanistis.
Perspektif
Psikologis
Ilmu komunikasi
termasuk ilmu yang banyak meminjam ilmu-ilmu lain, seperti ilmu psikologi.
Peminjaman yang dilakukan komunikasi dari psikologi bersifat agak dangkal dan
sporadis. Ini tidak berarti bahwa studi komunikasi dari suatu perspektif
psikologis bersifat dangkal. Komunikasi tidak meminjam semua bidang dari ilmu
psikologi, hanya dari psikologi sosial. Namun tidak seperti ahli psikologi
sosial, para komunikologis sedikit sekali memperhatikan argumen teoritis
sekitar tradisi S-R (Stimulis-Respons) dari psikologi modern. Tambahan pula,
kita hanya meminjam, sementara itu kita jarang sekali mempertimbangkan berbagai
variasi teori psikologi yang tidak secara langsung mempunyai sangkut-paut
apapun dengan fenomena komunikasi manusia.
Perspektif itu
merupakan suatu penekanan dan pemberian makna yang relatif. Menulusuri
permulaan pengaruh psikologi pada studi komunikasi manusia tidak dapat
dihindari lagi menjadi arbiter (tidak semena-mena).
Psikologi merupakan
disiplin yang beranekaragam dengan spesialisasi-spesialisasi yang dihubungkan
dengan longgar, misalnya : psikologi kepribadian, psikologi sosial, psikologi
industri, psikologi penyuluhan, psikologi abnormal, psikologi fisiologis,
psikologi klinis, psikologi arkitektural, psikologi humanistis, psikologi
pendidikan, dan seterusnya.
Titik beratnya ialah bentuk
faham behaviorisme setelah skinner, disertai aroma penjelasan kognitif yang
kuat. Karena itu, karakteristik yang berikut sebaiknya tidak disimpulkan
sebagai definisi yang komprehensif atau realistis dari bentuk penjelasan yang
dipakai oleh sebagian besar para ahli psikologi. Sebaliknya, karakteristik ini
merupakan ciri-ciri inti dari suatu, yang pada dasarnya penjelasan S-R yang
diadaptasikan pada komunikasi manusia.
Sebagai manusia,
kemampuan kita sangat terbatas untuk berhubungan dengan lingkungan kita serta
sesama kita. Secara fisiologis, setidak-tidaknya, kita hanya memiliki lima alat
indra (pancaindera) – penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan
perasa. Fenomena lingkungan itu yang terkandung dalam psikologis, termasuk
penjelasan teoritis di luar behavioristis, adalah konsep “stimulus” sebagai
satuan masukan alat indra. Stimuli memberikan input kepada alat-alat indra dan
memberikan data yang dipergunakan dalam penjelasan tentang perilaku manusia.
Konsep dasar stimulus sebenarnya lebih kompleks daripada apa yang tampak secara
sepintas.
Konseptualisasi yang
kedua dari stimulus tidak dipusatkan pada objek stimulus itu sendiri akan
tetapi pada dampak objek tersebut pada alat indra yakni, stimulus itu merupakan
pola visual tertentu pada retina, pola getaran suara tertentu pada gendang
telinga, dan seterusnya. Dalam pengertian ini, pada dasarnya stimulus itu
merupakan konsep fisiologis – penangkapan objek lingkungan oleh alat indra.
Masih ada
konseptualisasi stimulus lainnya yang sama dengan paham Hanson (1958) yang
menyatakan bahwa pengamatan dan pemahaman tidak dapat dipisahkan. Hanson telah
mencatat bahwa kita tidak hanya “melihat” objek, kita melihat objek itu sebagai
sesuatu hal atau lainnya. Dalam contoh pertemuan tatap muka di atas, stimulus
itu dapat diartikan sebagai suatu salam persahabatan yang biasa dilakukan –
penarikan kesimpulan dan sintesis dari seperangkat stimuli.
Kita ditanyakan
tentang yang mana dari ketiga konseptualisasi tersebut yang “benar” atau
“terbaik” sama artinya bahwa yang bertanya itu tidak dapat menangkap makna yang
sesungguhnya. Suatu stimulus mungkin, dalam suatu situasi tertentu, dapat
berupa objek dalam lingkungan, suatu pola pengindraan, atau pengalaman bulat,
ataupun kombinasi ketiganya. Sifat khas stimulus adalah konsep yang agak
kompleks, yang dapat berbeda dari satu situasi dengan situasi yang lain dan
pasti akan mempengaruhi pemahaman kita tentang fenomena yang akan dijelaskan.
Barangkali istilah
S-R merupaka istilah yang salah karena sebenarnya semua penggunaan penjelasan
S-R yang mutakhir mengakui adanya intervensi organisme antara stimulus dan
respons – sehingga dipakai istilah S-O-R. karena itu, penjelasan S-R mengandung
karakteristik urutan inpput-throughtpur-output (masukan-dalaman-keluaran).
Biasanya, hubungan antara stimulus dan respons diwarnai oleh hubungan
sebab-akibat.
Tujuan penjelasan S-R
berpusat pada peramalan, dan peramalan berpusat pada respons. Sebenarnya
respons dianggap sebagai perilaku yang secara langsung diamati, dan penjelasan
psikologis berusaha menghubungkan, yakni menjelaskan perilaku dalam artian
stimuli dan keadaan internal. Memang jelas bahwa respons tidak dapat diramalkan
semata-mata dalam arti sifat fisik stimulus. Respons lebih dapat diuntungkan
dengan keadaan internal yang diaktifkan oleh psikologis.
Model psikologis dari
komunikasi jarang tampak dalam literatur teori komunikasi sebagai suatu
pandangan yang bulat mengenai proses komunikatif. Biasanya, para ahli teori
komunikasi yang akan mempergunakan perspektif psikologis memadukan
karakteristik psikologis dari komunikasi dengan karakteristik model mekanistis.
Orientasi S-R cukup
menonjol dalam perspektif psikologis tentang komunikasi manusia. Pertama-tama,
perspektif ini menganggap bahwa manusia berada dalam suatu medan stimulus, yang
secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Di sekeliling setiap
orang terdapat arus stimuli yang hampir tidak terbatas jumlahnya, semuanya
dapat diproses melalui organ-organ indra penerima, yakni penglihatan,
pendengaran, peraba, penciuman, dan perasa.
Perspektif psikologis
komunikasi manusia jelas berfokus pada individu sebagai “tempat” yang utama
untuk menemukan terjadinya komunikasi. Tambahan pula, perspektif psikologis
memandang individu sebagai organisme kotak hitam, dengan berfokus pada individu
secara efektif komunikasi ditempatkan dalam keadaan internal sehingga tidak
dapat dicapai melalui pengamatan langsung. Proses penerimaan stmuli melalui
filter konseptual merupakan proses penafsiran. Si penafsir harus
mengidentifikasikan menstruktur atau mengorganisasikan, dan membedakan stimuli
yang diterimanya.
Perspektif psikologis
tentang komunikasi manusia telah melahirkan banyak masalah dan petunjuk baru,
yang telah menandai sejumlah besar upaya penelitian di bidang komunikasi manusia
dalam tahun-tahun terakhir ini. Salah satu kecenderungan umum kelihatannya
ialah memperlakukan langsung komunikator sebagai manusia – kembali kepada
prinsip humanistis.
Sampai batas
tertentu, debat tentang hubungan sikap perilaku itu mencerminkan perbantahan
teoritis dalam psikologi antara psikologi kognitif dan S-R. bagi sebagian ahli
psikologi, perbantahan itu mencerminkan upaya untuk menemukan teori tunggal
yang dapat mempersatukan studi psikologi yang berpola dua itu – psikologi
perilaku dan psikologi kognitif.
Perspektif
psikologis, implikasi selanjutnya adalah yang paling berhubungan dengan
metodologi dan teknik yang dipakai dalam praktek penelitian. Kesukaran dalam
pengukuran sikap saja akan meningkat secara dramatis akibat kesulitan karena
adanya sifat multidimensional dan kekompleksan komponen kognitif, afektif, dan
behavioral.
Perspektif psikologis
tentang komunikasi menusia berpusat pada “keaktifan” si komunikator/penafsir.
Model masukan-keluaran dengan jelas memperlihatkan bahwa semata-mata adanya
informasi tidaklah menjamin bahwa individu menerima atau menyimpannya. Dengan
perkataan lain, para komunikator secara aktif mengendalikan informasi yang
mereka olah.
Penelitian komunikasi
perspektif psikologis umumnya berifat eksperimental. Karena para ahli
komunikasi telah meminjam konsep dan definisi operasional dari psikologi, maka
wajar jika mereka juga merefleksikan metodologi yang menjadi ciri khas yang
digunakan oleh para ahli psikologi.
Persuasi dan
Perubahan Sikap, sebagian besar penelitian komunikasi dalam bidang persuasi dan
perubahan sikap berasal dari satu atau lebih model psikologi keseimbangan yang
beraneka itu. Walaupun variasi model keseimbangan yang berlainan itu berbeda
sekali, semuanya mencerminkan prinsip keseimbangan internal; yakni, manusia
lebih senang memelihara keadaan yang berumbang secara internal.
Komunikasi
Organisasional, walaupun sebagian besar penelitian komunikasi organisasi
barangkali bersifat mekanistis, sebagian penelitian organisasi dalam komunikasi
telah mencerminkan perspektif psikologis. Terutama dalam pengertian fungsi
penjaga gerbang, studi jaringan komunikasi dalam setting organisasi telah
mencoba memberikan penjelasan tentang sifat pelaksanaan pengolahan informasi
individu.
Komunikasi Kelompok,
para ilmuwan komunikasi yang mendalami fenomena kelompok sering menggunakan
penghampiran psikologis dalam pengkajian mereka. Model pertukaran sosial yang
dikembangkan oleh Thibaut dan Kelly (1959) telah mengkonseptualisasikan
interaksi interpersonal sebagai rasio antara sistem ganjaran dengan biaya yang
dikeluarkan atau model ekonomis dari alternatif pilihan sosial.
Lain-lain, beberapa
bidang penelitian komunikasi tambahan dewasa ini memperoleh kepopuleran yang
cukup besar namun belum tercakup dalam pembahasan yang terdahulu, meskipun
tampaknya konsisten dengan asumsi perspektif psikologis. Karena beberapa alasan
tertentu, bidang ini tidak dimasukkan. Pertama, bidang tersebut mengenai
variabel spesifik dengan generalisasi yang terbatas bagi proses komunikatif.
Kedua, variabel ini tidak membangkitkan minat penelitian yang meluas di antara
sejumlah besar masyarakat ilmiah bila diukur dari sejumlah besar ilmuwan yang
terlibat dalam penelitian tersebut.
Perspektif
Interaksional
Fisher menggunakan
istilah perspektif interaksional untuk menunjukkan pandangan komunikasi manusia
yang telah berkembang secara tidak langsung dari cabang sosiololgi yang dikenal
sebagai interaksi simbolis.
Perspektif
interaksional tentang komunikasi manusia seyogyanya jaganlah ditafsirkan
sebagai pengaplikasian interaksi simbolis pada komunikasi. Akan tetapi,
hendaknya dipandang bahwa sejumlah penghampiran tentang studi komunikasi
manusia nampaknya mencerminkan beberapa asumsi yang secara filosofis sama.
Perspektif
interaksional menonjolkan keagungan dan nilai individu di atas segala pengaruh
yang lainnya. Manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling
berhubungan, bermasyarakat, dan buah pikiran. Tiap bentuk interaksi social itu
dimulai dan berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Inilah karakteristik
utama dari perspektif ini.
Dalam diri tiap
individu, pewujudan “diri” menunjukkan eksistensi “saya (I)” dan “aku (me)”.
“Saya” merupakan bagian yang aktif dari diri yang mampu menjalankan perilaku
perilaku. “Aku” mewujudkan dalam diri konsep tentang “yang lain.” Singkatnya,
“saya” tidak dapat diramalkaan. Sedangkan “aku” dapat diramallkan. Karena “aku”
memberikan kepada “saya” arah dan berfungsi untuk mengendalikan “saya”, yang
hasilnya membuat perilaku manusia mudah untuk diramalkan.
Karena itu, dalam
kerangka pegertian tentang diri terkandung esensi interaksi social—interaksi
antara “saya” dan “aku”—perwujudan diri dan yang lain didalam diri tadi. Secara
sederhana, “aku”, melalui pengamatan diri sendirei atas berbagai tindakan dan
dengan jalan menghubungkannya pada pengamatan yang silam pada tindakan yang
lain, membentuk perilaku “saya.”
Mead membedakan
antara dua tingkat interaksi – isyarat dan lambang. Blumer mengartikan
tinkat-tigkat ini sebagai interaksi yang nonsimbolis dan interaksi yang
simbolis.
Dalam setiap proses
penunjukkan diri apapun, individu itu sendiri merupakan objek penafsiran.
Dengan demikian, maka perspektif interaksional serupa dengan perspektif
psikologis, dalam anggapan bahwa pengalaman silam individu dapat mempengaruhi
tindakan masa yang sekarang, pada gilirannya, dapat mempengarui tindakan
berikutnya . Namun demikian, keserupaan itu hanyalah sampai di situ saja.
Hakikat tindakan
manusia ini menunjuk pada pengambilan peran dari setiap individu. Dalam proses
pengambilan peran ini, individu dapat mengambil peran orang lain. Bentuk
pengambilan peran yang paling informative adalah peran generaliz other. Peran
ini mencerminkan umumnya para warga masyarakat atau kultur tempat individu itu
mengidentifikasika dirinya.
Seorang individu,
menurut definisinya, adalah perwujudan masyarakat mini yang tindakannya
merupakan produk langsung dari—dan sebenarnya—suatu bagian yang integral dari penafsiran
diri serta pengambilan peran. Jadi individu itu merupakan wujud social,
termasuk semua tekanan social ke arah konformitas di samping kemampuannya untuk
menyimpang dari tekanan penyesuaian diri dengan maasyarakat.
Pada waktu individu
itu mengambil perannya, ia dapat mengizinkan “orang lain” untuk mengarahkan
tindakan individualnya sehingga, tindakan beberapa orang atau lebih menjadi
saling terstruktur satu dengan yang lainnya untuk membentuk tindakan kelompok;
yakni individu pengambil peran menyelaraskan tindakannya dengan tindakan orang
lainnya, bahkan dengan generalized other.
Blumer (1969:2) telah
mengemukakan tiga buah “premis sederhana” yang menjadi dasar interaksionalisme
simbolis. Ketiganya berfungsi sebagai ringkasan tentang posisi filosofis/teoritis
dari interaksi simbolis. (1) “Manusia bertindak terhadap hal-hal atas dasar
makna yang dimiliki oleh hal-hal tersebut.” (2) Makna ini berkaitan langsung
dengan “interaksi social yang dilakukan seseorang dengan tgeman-temannya.” (3)
Makna ini diciptakan, dipertahankan, dan diubah melalui “proses penafsiran yang
dipergunakan orang tersebut dalam berhubungan dengan hal-hal yang ia hadapi.”
Pertama-tama, model
ini mengemukakan adanya pemisahan diri, orang lain dan objek, yang dalam
realitasnya, orientasi terhadap ketiganya bersifat simultan dan tak dapat
terpisahkan, masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh yang lainnya.
Model ini menggambarkan kemanunggalan yang unidimensional dari diri, orang
lain, objek, dan konteks kultural, yang jelas tidak mencerminkan realitas.
Komunikator
interaksional merupakan penggabungan yang kompleks dari individualisme sosial,
yakni seorang individu yang menmgembangkan potensi kemanusiawiannya melalui
interaksi sosial. Komponen berikutnya dalam pengambilan peran dari perspektif
interaksional adalah orientasi. Selanjutnya, yang juga berperan dalam
perspektif ini adalah keseearahan (congruence), dan yang terakhir adalah
lambing.
Perspektif
interaksional tentang komunikasi manusia amat sering dinyatakan sebagai
“komunikasi dialogis” atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Komunikasi
sebagai monolog (lawan dari dialog) mengandung pandangan mekanistis tentang
seseorang (atau suatu lingkungan) “yang sedang melakukan sesuatu atas” orang
yang lainnya.
Perspektif interaksional
merupakan reaksi humanistis terhadap dan psikologi S-R. Sebagai reaksi yang
negatif, terdapat banyak implikasi yang mencerminkan pencaharian sesuatu yang
baru dalam pengertian apa yang disebut oleh Matson dan Montagu (1967: 1-11)
sebagai ”suatu revolusi yang belum selesai”
Perspektif
interaksional sendiri lebih banyak menghasilkan diskusi dan gejolak daripada
menghasilkan penelitian-penelitian empiris yang sesungguhnya. Lebih-lebih lagi,
interaksionisme telah menimbulkan kepekaan atau kesadaran yang makin tinggi di
kalangan para anggota masyarakat ilmiah akan kekurangan perspektif-perspektif
yang lebih bersifat tradisional.
Kesadaran yang makin
meningkat tentang diri (self) telah mendorong gejolak minat penelitian dewasa
ini pada fenomena pengungkapan diri. Pengungkapan diri dapat didefinisikan,
sekalipun secara luas, sebagai penyingkapan informasi tentang diri yang pada
saat lain tidak dapat diketahui oleh pihak yang lain. Sebagian besar penelitian
tentang pengungkapan diri ini cenderung menggunakan penjelasan psikologis
dengan sifat-sifat psikologis. Erat kaitannya dengan komunikasi pengungkapan
diri adalah aspek keakraban (intimacy).
Persuasi mempunyai
arti proses pengaruh sosial – pengarahan komunikasi yang tidak seluruhnya
konsisten dengan interaksionisme. Peran komunikator dalam konteks persuasive
bersifat komplementer. Salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah
memandang proses pengaruh social ini sebagai proses persuasi diri; yakni,
pelaku persuasi mengambil peran sudut pandang orang yang dipersuasi dalam
upayanya untuk mengungkapkan unsur-unsur yang diterima oleh yang lain sebagai
yang paling penting.
Umumnya penelitian
komunikasi yang mencerminkan perspektif interaksional terdiridari kelompok
studi yang relatif terpisah-pisah dalam kerangka studi yang luas, yang
berorientasi pada prinsip yang sama.
Perspektif
Pragmatis
Lebih dari tigapuluh
tahun yang lalu, Charles Morris (1946) telah meletakkan dasar semiotics (teori
tentang lambang). Ia membagi semiotics ke dalam bidang studi: sintaksis,
semantika, dan pragmatika. Aspek pragmatis komunikasi berpusat pada perilaku
komunikator sebagai komponen fundamental komunikasi manusia, daripada memandang
perilaku sebagai produk atau efek tindakan komunikatif, pragmatika berpandangan
bahwa komunikasi dan perilaku sesungguhnya sama. Pragmatika (secara tidak
langsung dari Morris), berfungsi sebagai nama dari perspektif ini untuk
pengkajian proses komunikasi manusia.
Sekalipun
kenyataannya istilah pragmatika bermula dari studi semiotika, namun perspektif
pragmatika tidak memiliki hubungan dengan semiotika untuk prinsip-prinsip
teoretis/filosofisnya. Prinsip-prinsipnya secara langsung banyak berasal dari
teori sistem umum (general sistem theory), campuran, multidisipliner dari
asumsi, konsep, dan prinsip-prinsip, yang menyediakan secara umum bagi studi
berbagai jenis fenomena.
Dengan singkat dapat
dikatakan, bahwa teori sistem merupakan seperangkat prinsip yang terorganisir
secara longgar dan bersifat amat abstrak, yang berfungsi untuk mengarahkan
jalan pikiran, namun yang tergantung pada berbagai penafsiran.
Prinsip
Ketidakmungkinan Dijumlahkan (Nonusmmativity). Prinsip yang pertama dari teori
sitem adalah definisi sistem itu sendiri – suatu totalitas, “keseluruhan dari
sesuatu” Rapoport (1968; xvii) mendefinisikan sistem sebagai “totalitas yang
berfungsi sebagai keseluruhan karena adanya saling ketrergantungan dari
bagian-bagiannya.” Hall dan Fagen (1956; 18) menegaskan kembali prinsip
keseluruhan (wholtness) dengan mengartikan sistem sebagai “seperangkat objek
yang disertai hubungan-hubungan antara objek-objek tersebut dan antara
sifat-sifatnya.” Karena saling ketergantungan ini, maka setiap perubahan apapun
dalam komponen secara otomatis mempengaruhi tiap komponen yang lain.
Ketidakmungkinan
penjumlahan dan keseluruhan seperti dua sisi mata uang yang sama, berarti bahwa
sistem itu berlainan dari penjumlahan objek atau komponen-komponen yang, secar
bersama, membentuk sistem yang bersangkutan. Akan tetapi bila komponen
disatukan secara independen, hasilnya adalah kolektivitas yang memiliki
identitas sendiri dan berbeda dengan identitas individu komponennya.
Struktur, Fungsi, dan
Evolusi. Hubungan yang sifatnya saling tergantung antar komponen dapat
dilukiskan menurut ketiga unsur yang saling berhubungan. Hubungan strukturan
menunjukkan adanya ruang (spatial). Hubungan fungsional mengandung arti adanya
hubungan hubungan yang berorientasi pada waktu diantar komponennya. Hubungan
evolusioner melacak sejarah sistem itu sepanjang waktu.
Prinsip Keterbukaan.
Para ahli teori telah menggunakan beberapa karakteristik untuk membedakan
sistem terbuaka dan tertutup.yang paling umum dari karakteristik ini adalah
pertukaran energiatau informasi yang bebas antara sistem yang terbuka dengan
lingkungannya. Yakni, sistem yang terbuka memiliki daerah perbatasan yang dapat
ditembus, yang memungkinkan pertukaran yang cukup dengan lingkungan sistem
tersebut.
Organisasi Hierarki.
Jika dapat dilukiskan lingkungan konsentris, saperti serangkaian kotak yang akhirnya
tak terbatas jumlahnya, masing-masing kotak tadi jika dibuka maka akan
ditemukan kotak lagi dan seterusnya. Bagi setiap sistem terdapat sistem yang
lebih besar yang melingkupinya – supsisitem – dan terdapat pula sistem yang
lebih kecil darinya (subsistem).
Meskipun filsafat
mekanistis tentang komunikasi meyandang teori informasi tidak begitu penting
atau bahkan relevan dengan perspektif pragmatis, funsionalisasi informasi
merupakan hal yang sentral. Informasilah yang menggerakkan sistem sosial itu dan
melestarikannya. Informasilah yang dipertukarkan diantara subsistem, sistem,
dan suprasistem, sesuai dengan prinsip keterbukaanya.
Pilihan dan
Ketidakpastian. Salah satu kelebihan manusia dari berbagai ciptaan (Tuhan) yang
lain adalah dapat menentukan pilihan. Karena itu, dalam sistem sosial, terdapat
populasi pilihan bagi setiap manusia (yakni, unsur). Manusia, sebagai komponen
yang aktif dalam sistem sosial, secara konstan melakukan pilihandari populasi
ini selam interaksi sosial. Informasi diukur dalm artian “berapa banyak”
ketidakpastian dihilangkan – ketidakpastian yang berkaitan dengan dengan
pilihan mana yang sebaiknya dipilih dari serangkaian alternatif.
Redundansi dan
Kendala. Sifat informasi, dalam pengertian sistem sosial yang mengolah informasi,
mengemukakan bahwa sistem lebih menangani peristiwa daripada objek material.
Sebagai kejadian dalam waktu, peristiwa saling diasosiasikan satu sama lain
dalam arti urutan kronologis rangkaian peristiwa. Teori informasi menentukan
bahwa penyesuaian yang lampau suatu sistem mempengaruhi masa kini sehingga
perilaku pengolahan informasi cenderung untuk berulang sepanjang waktu dalam
pola uji coba. Apabila urutan perilaku atau peristiwa tertentu terjadi berulang
kali, maka urutan itu dapat dikatakan memperlihatkan keteraturan kejadian pada
tingkat atau probabilitas tertentu. Selama urutan itu secara konsisten selalu
diulang kembali, sistem itu memperlihatkan redundansi. Makin redundan suatu
urutan, makin berkurang ketidakpastian yang dikandung dalam suatu urutan itu,
yaitu makin tinggi probabilitas kejadian itu, yaitu makin banyak redundansi
dari suatu peristiwa tertentu dalam urutan, makin banyak kendala dikenakan pada
rentangan alternative yang dapat diperoleh.
Perspektif pragmatis
tentang komunikasi manusia berlainan sekali dari tiga perspektif yang terdahulu
dan memerlukan konseptualisasi kembali terhadap fenomena komunikatif. Sistem
Sosial. Untuk memandang komunikasi manusia sebagai sistem, memerlukan
eksistensi sistem sosial yang didalamnya terjadi komunikasi itu. Pernyatan ini
menuntut konseptualisasi komunikasi sebagai aktivitas manusia dan jangan
dikacaukan dengan piranti keras (hardware) komunikasi (yaitu hasil perkembangan
teknologi). Sebagai sistem sosial, komunikasi melibatkan manusia yang dapat atau
tidak memanipulasikan mesin.
Perilaku, apabila
individu menjadi subsistem dalam focus sistem sosial, maka organisasi hierarki
sistem memainkan peranannya. Tiga tingkat sistemik diperlukan dalam menganalisa
sistem komunikasi. Sub sistem, sistem, dan suprasistem. Weick menunjukan “Jika
terdapat tingkat-tingkat analisis yang berlainan (individu, kelompok,
organisasi, masyarakat), satu-satunya cara untuk mempelajari tingkat itu adalah
jika kita tahu bagaimana tingkat itu terjalin bersama, yaitu bagaimana satu tingkat
berinteraksi dengan tingkat lainnya.”
Pola-pola Interaksi
yang Berurutan. “Aksioma tentative komunikasi” yang ketiga dari Watzlawick,
Beavin, dan Jackson (1967:54-59) menyatakan “ sifat hubungan bergantung pada
pungtuasi urutan komunikasi antara para partisipannya.” Pungtuasi (punctuation)
ini semata-mata menunjukkan pengelompokkan unsur-unsur kedalam pola yang telah
dikenal.
Dimensi Isi dan
Hubungan. Aksioma tentative yang kedua tentang komunikasi manusia dari
Watzlewick, Beavin, dan Jackson (1967:51-54) menjabarkan bahwa ada dua jenis
informasi dalam setiap tindakan komunikatif – informasi yang mengenai isi dan
informasi yang menyangkut masalah hubungan, dimensi isi dari tindakan
komunikatif memberikan aspek ‘data’ dari informasi. Dimensi hubunan menghidangkan
informasi seperti tentang bagaimana orang sebaiknya menafsirkan data tersebut.
Kedua dimensi ini tidak dapat dipisahkan dan selalu hadir dalam setiap tindakan
komunikasi.
Perspektif pragmatis
tidak mengingkari eksistensi filter konseptual yang internal. Ia hanya
menganggap sebagai bentuk analisis lain. Fenomena internal ini memasuki sistem
komunikatif sebagai perilaku yang dieksternalisasikan, atau tudak memasuki
sistem sama sekali. Baru setelah itu, internalisasi menjadi bagian sistem.
Sekalipun begitu, tindakan perorangan itu tidak membentuk seluruh sistem.
Probabilitas
stokastis (statistis) tidak menunjukkan adanya hubungan linier semacam itu
antara keadaan pemula dan keadaan berikutnya (lebih baik tidak dipakai istilah
”akbat”) proses stokastis hanya menentukan probabilitas bahwa keadaan
berikutnya yang tertentu (dari antara rentangan keadaan yang mungkin ada)
benar-benar timbul setelah keadaan pemula yang tertentu.
Sekali analisis
kualitatif terhadap sistem komunikasi mengategorikan perilaku manusia kedalam
kategori fungsional, masalah berikutnya adalah menganalisa perilaku yang
dikategorikan itu. Dari pembahasan yang terdahulu tentang teori informasi, kita
mengetahui bahwa perilaku terjadi sebagai urutan peristiwa yang kontinu yang
karena pengulangan perilaku (yakni perilaku yang tercakup dalam kategori
fungsional yang sama) dapat memperlihatkan pembentukan pola atau redudansi.
Mengonseptualisasikan
waktu dalam pengertian yang lain dari pengertian fisiknya memang agak sedikit
sulit. Kita cenderung untuk membatasi pikiran kita tentang waktu melalui
konseptualisai yang telah ditanamkan oleh jam. Sudah tentu, perspektif
pragmatis komunikasi manusia mencakup konsep waktu secara fisik. Waktu fisik
masih tetapa merupakan standar untuk mengukur semua dimensi waktu lainnya,namun
begitu perspektif pragmatispun mencakup konsep waktu lainnya. Satua aspek waktu
yang pragmatis mencakup kesatu arahannya yang disebutkan itu. Dalam hal ini
peristiwa atau perilaku dapat terjadi dalam tingkat redudansi dapat terukur.
Kecenderungan untuk
memisah-misahkan komunikasi dalam tingkat sosiologis tertentu harus menunjukkan
adanya potensi teori sistem untuk mempersatukan organisasi hierarkis dari
sistem terkandung dalam setiap perspektif pragmatis, tergantung pada tingkatan
perhatian yang terbesar secara sosiologis bagi peneliti. Konsep tentang urutan
perilaku dan redudansi dapat digegeralisasikan bagi setiap tingkat hierarki
sistem. Perilaku dalam suatu sistem yang terdiri dari dua orang mungkin hanya
komentar verbal seorang individu, dan perilaku pada tingakat masyarakat
(komunikasi massa) mungkin lebih abstrak lagi tetapi tetap berupa perilaku
juga.
Beer mengungkapkan
bahwa, dalam upaya memahami cara bekerja suatu sistem secara internal, kita
memilih, dari sejumlah hubungan antara hal-hal tidak terbatas, himpunan yang
karena kesearahan pola dan tujuannya memungkinkan penafsiran pada apa yang
mungkin semula merupakan urutan tanpa arti dari peristiwa yang arbitrer. Bila
mana kategori itu memungkinkan peneliti untuk menafsirkan jalannya sistem
komunikasi, kategori itu tidak dapat dianggap tidak penting, tidak relevan,
ataupun tidak sesuai, namun sudah tentu penafsiaran itu akan berbeda karena
ditentukan oleh kategori yang dipakai untuk mengelompokkan perilaku tersebut.
Umumnya penelitian
komunikasi yang dijalankan dalam perspektif pragmatis mengamati sistem sosial
yang berbentuk diad (dua orang) atau kelompok. Hawes telah mengamati komunikasi
dalam setting sosial suatu wawancara medis antara dokterdan pasiennya. Rogers
dan koleganya yang sedang mempelajari komunikasi hubungan, mengamati
pasangan-pasangan yang telah menikah.
Perbedaan yang khas
antara penelitian psikologi sosial tentang fase-fase perkembangan kelompok dan
penelitian komunikasi yang serupa adalah dalam menganalisa data dan menandai
fase-fase menurut pola interaksi. Meskipun para ahli psikologi sosial, dengan
pengecualian yang terkenal seperti Bales dan Strodtbeck (1951), cenderung untuk
menandai fase-fase perkembangan kelompok dengan jalan menulusuri perubahan pada
variable-variabel kognitif dan afektif dari para anggota kelompok, penelitian
komunikasi secara pragmatis menggunakan pola yang berubah-ubah dari perilaku
interaktif sebagai dasar yang fundamental bagi pembedaan diantara fase-fase
itu.
Perspektif pragmatis
masih baru sehingga masih banyak kemungkinan penelitian yang lain, dan
menunjukkan aliran ini masih berkembang sehingga belum terumuskan secara baku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar