Masyarakat Indonesia sudah memiliki agama atau kepercayaan-kepercayaan
tradisional, jauh sebelum berkembangnya agama Budha, Hindu serta agama samawi
seperti Islam dan Kristen di Nusantara. Kehidupan
religius masyarakat Indonesia di masa lalu tidak hanya berbentuk animisme
dan dinamisme karena peradaban yang cukup maju mampu menciptakan
konsep-konsep religi yang adiluhung. Konsep relasi antara manusia dengan Sang
Khalik yang bersifat imanen dan transenden, sudah
diartikulasikan oleh masyarakat lewat berbagai tradisi yang menggabungkan
antara kehidupan nyata dan dimensi metafisika.
Keyakinan
tradisional mampu menahan hegemoni agama-agama besar karena sangat mengakar
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, sehingga eksistensinya dapat
dipertahankan hingga kini. Eksistensi dari keyakinan tradisional termanifeskan
lewat berbagai bentuk, salah satunya adalah praktek atau ritual yang bersifat
mistik. Misalnya agama Kejawen yang masih dianut oleh sebagian
masyarakat Jawa masih mengenal praktek-praktek simbolik religi, seperti
pemberian sesajen bagi Sing Mbaureksa, Mbahe, Danyang di pohon-pohon
besar dan berumur tua, atau tempat-tempat keramat (wingit) lainnya
(Herusutato 2001:90).1 Tindakan-tindakan
simbolik ini dimaksud agar kehidupan dari pemuja tersebut menjadi tenteram dan
terhindar dari malapetaka. Tujuan dari pemujaan ini pada dasarnya sama dengan
tujuan pemujaan yang terdapat dalam agama-agama yang ada di Indonesia, namun
yang membedakannya adalah tata cara dan objek yang dipujanya.
Keyakinan-keyakinan tradisional tidak hanya termanifeskan dalam bentuk
praktek-praktek magis, namun juga ditranformasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Transformasi keyakinan tradisional dalam kehidupan sehari-hari ini membantu
menciptakan keseimbangan atau keselarasan dalam tata kehidupan masyarakat. Kita
bisa melihat nilai-nilai yang dikembangkan oleh agama tradisional, seperti
konsep rukun dalam masyarakat Jawa yang menekan egosentris demi
tatanan masyarakat yang solid.2
Keyakinan-keyakinan
tradisonal, baik dalam bentuk nilai maupun praktek magis ini menjadi unsur
budaya yang inhern dalam sistem kehidupan masyarakat Indonesia saat
ini, meskipun telah mengalami modernisasi yang identik dengan rasionalitas.
Akan tetapi, manifestasi kepercayaan-kepercayaan tradisonal di Indonesia sudah
mengalami transformasi dari praktek-praktek kolektif yang mengandung konsep kosmologi
menjadi “alat analisis” bagi masyarakat untuk memahami berbagai problem
sosial sekaligus menjadi komoditas bagi individu, kelompok bahkan industri.
Tulisan ini
ingin mengaitkan proses transformasi kepercayaan tradisional dengan modernisasi
kehidupan masyarakat Indonesia dalam bentuk proses dialektika. Penulis juga
akan menggunakan konsep antagonisme kebudayaan yang dikemukakan oleh
Georg Simmel untuk memahami fenomena sosial ini.
Modernitas
di Indonesia
Berkembangnya
proses modernitas di Indonesia sejak kemerdekaan, perlahan-perlahan mulai
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Banyak orang berasumsi bahwa
proses modernisasi, khususnya di Indonesia, dapat secara langsung diamati lewat
geliat kehidupan masyarakat perkotaan. Proses pembangunan infrastruktur yang
berkembang pesat, pertumbuhan moda-moda tranportasi yang memenuhi jalanan,
menjamurnya industri hiburan yang bergeliat di malam hari, atau perkembangan
fashion yang selalu berubah-berubah mengikuti perkembangan dunia, selalu
dianggap menjadi indikator modernisasi di Indonesia.
Modernitas ditunjang oleh tiga faktor, (1) Kapitalisme dengan teknik modern
yang memungkinkan industrilalisasi, (2) penemuan subyektifitas manusia modern,
dan (3) Rasionalisme (Widyanta, 2002:10). Berkaitan dengan faktor-faktor
modernitas tersebut, maka secara normatif ketiga faktor tersebut sudah menjadi
spirit perkembangan modernitas di Indonesia yang mengandalkan rasionalitas
ekonomi sebagai landasan bagi perkembangan industrialisasi. Akan tetapi,
Kapitalisme dan Rasionalitas yang mendorong industrialisasi juga memiliki sisi destruktif
karena kondusif bagi terciptanya individualisasi, fragmentasi, alienasi (Entfremdung),
kesesatan, penghancuran kreatifitas, pergeseran tak terduga dalam metode-metode
produksi dan konsumsi serta pergeseran pengalaman tentang ruang dan waktu
(Hikmat Budiman 1997:57).
Penulis tidak ingin membahas permasalahan modernitas secara utuh, namun
ingin melihat ide rasionalitas yang diusung oleh modernitas dalam konteks
masyarakat Indonesia. Pada tataran praksis, adanya pemahaman yang tidak
komprehensif karena indikator modernitas sering dilihat sebatas proses
tranformasi dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, atau dari
sistem feodal menjadi sistem Kapitalis yang berawal dari
revolusi industri pada abad XIX di Inggris. Rasionalitas yang diusung oleh
modernisasi sebagai kritikan terhadap dogma-dogma agama pada abad kegelapan dan
menandai bangkitnya masa pencerahan (aufklarung) tidak termanifeskan
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan hal itu,
maka pertanyaannya adalah apakah perubahan sosial yang terjadi di Indonesia
(transformasi dari masyarakat agraris menjadi industri atau sistem feodal
menjadi Kapitalis) karena adanya modernisasi sudah membentuk cara berpikir
masyarakat yang rasional?
Pada dasarnya perubahan sosial di Indonesia paska kemerdekaan memang sama
dengan perubahan sosial yang terjadi di Inggris sejak bergulirnya revolusi
industri, namun situasi dan kondisi sosialnya sangat jauh berbeda. Perubahan
sosial di Inggris atau Eropa pada umumnya tidak terjadi dalam kurun waktu yang
relatif pendek, namun berlangsung lama sejak abad pencerahan dimulai. Sebelum
terjadinya revolusi industri, perkembangan ilmu pengetahuan yang mengandalkan
rasionalitas sebagai input bagi paradigma baru sudah menjadi tradisi
bagi masyarakat Eropa selama berabad-abad, sehingga output berupa
inovasi-inovasi yang dikembangkan menjadi landasan kuat untuk menopang
perkembangan awal industrialisasi. Berbeda dengan masyarakat Eropa, proses
industrialisasi di Indonesia tidak melalui proses dialektika yang
panjang, namun hanya mengadopsi konsep yang sudah berkembang di dunia.
Industrialisasi di Indonesia memang menerapkan rasionalitas ekonomi, namun
dalam kehidupan sehari-hari dualisme cara berpikir yang modern dan
tradisional sulit untuk dipisahkan.
Antagonisme Kebudayaan Indonesia
Masyarakat Indonesia, khususnya di perkotaan, yang secara fisik paling
banyak menikmati perkembangan modernitas masih tak dapat dipisahkan dengan cara
berpikir dan bertindak yang tradisional, seperti kepercayaan terhadap mitos,
hal-hal mistik, magis atau supranatural tanpa melalui pembuktian ilmiah. Kita
semua mengetahui bahwa wacana-wacana mistik tentang pemerintahan SBY-JK sering
dikaitkan dengan bencana-bencana alam yang sering terjadi. Begitu juga
eksistensi paranormal seperti Ki Gendeng Pamungkas atau Ki Joko Bodo muncul di
tengah arus modernisasi, bahkan menjadi bagian dari modernisasi itu sendiri
lewat iklan-iklan sms di TV. Kemampuan supranatural paranormal di Indonesia
tetap menjadi kiblat para pejabat yang tentu saja memiliki pendidikan
tinggi, bahkan menjadi salah satu strategi BIN (Badan Intelijen Indonesia)
untuk membunuh Munir.
Pada titik ini kita sudah bisa melihat transformasi kepercayaan tradisional
masyarakat Indonesia dari praktek-praktek kolektif yang bernuansa religius
menjadi “alat analisis” bagi masyarakat untuk memahami berbagai problem sosial
dan mulai menjadi komoditas bagi individu dan kelompok untuk mencapai tujuan
yang diinginkan. Fakta bahwa perilaku mistik masih menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat Indonesia ini juga menjadi daya tarik bagi industri
hiburan untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini terlihat dari banyaknya produksi
film-film horor beberapa tahun terakhir, juga tayangan reality show
bernuansa mistik yang ramai menghiasi layar kaca beberapa tahun lalu, atau yang
teraktual berupa petuah dari Ki Joko Bodo dan paranormal lainnya lewat sms.
Pertumbuhan industri hiburan yang mengandalkan perilaku mistik masyarakat
Indonesia seakan mendobrak budaya modern dengan ide rasionalitas yang sudah
terbentuk. Fenomena ini yang disebut Simmel sebagai antagonisme kebudayaan atau
yang dikonsepkannya sebagai perlawanan (dialektika) antara bentuk
dan hidup (Widyanta 2002:122). Bentuk diuraikan oleh Simmel
sebagai kebudayaan yang sudah menjadi sistem sosial dan hidup dimaknai
Simmel sebaagi potensi kreatif (creative potential) pada tingkat
individu dan sebagai kekuatan produktif dari kebudayaan. Hidup juga
dilihatnya sebagai kekuatan penggerak yang utama dari proses perubahan
kebudayaan.
Hubungan antara bentuk (sistem kebudayaan) dan hidup (kreatifitas
kebudayaan) terlekat pada suatu sifat mutual-interdepensi (Widyanta
2002:123). Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan karena
saling bergantung satu sama lain seperti konsep hubungan individu dan
masyarakat. Masing-masing kutub sangat tergantung pada perimbangan
antagonistiknya. Keberlangsungan bentuk-bentuk kebudayaan tergantung pada
kekuatan-kekuatan penciptaannya, begitu pun sebaliknya. Simmel berasumsi bahwa
pada saat sistem kebudayaan terbentuk, maka proses destruksinya pun dimulai
saat itu juga. Secara metaforis, proses perubahan kebudayaan ini
dinamakannya sebagai proses death dan rebirth atau kematian
dan kelahiran kembali dan sebaliknya (Widyanto 2002:124).
Simmel berasumsi bahwa terdapat oposisi latent di dalam kebudayaan, yaitu
antara kekuatan-kekuatan penciptaan (creative forces) dan kebudayaan
sebagai sistem (cultural system). Kekuatan-kekuatan penciptaan ini
berkembang lebih cepat ketimbang sistem kebudayaan yang telah tercipta. Sistem
kebudayaan akan semakin tertinggal jauh dari kekuatan penciptaan, sehingga akan
menjadi tidak fleksibel ketika dicoba untuk diterapkan, maka makin lama sistem
budaya yang sudah mapan tersebut mati dan digantikan oleh sistem budaya baru
yang dilahirkan oleh kekuatan-kekuatan penciptaan tersebut atau terjadi
kolaborasi antara keduanya.
Berkaitan dengan antagonisme kebudayan Indonesia (sistem budaya modern
versus industri hiburan bernuansa mistik) maka secara eksplisit dapat dilihat
hubungan keduanya memang bersifat mutual-interdepensi karena industri
yang merupakan produk modernitas dapat berkolaborasi dengan perilaku mistik
yang bertransformasi dari kepercayaan tradisional masyarakat Indonesia.
Industri hiburan yang bernuasa mistik merupakan sintesa dari proses
dialektika antara tesis modernitas dan antitesis berupa
perilaku mistik masyarakat. Dengan demikian maka proses death dan rebirth
yang dikemukakan oleh Simmel terjadi dalam konteks ini. Rasionalitas
sebagai bagian dari sistem budaya modern digantikan dengan sistem budaya yang
mengelaborasi antara rasionalitas (ekonomi) dan perilaku mistik menjadi satu
sistem budaya yang baru.
Uraian yang penulis paparkan di atas pada intinya ingin menunjukkan bahwa
sistem budaya Indonesia, dalam konteks ini, memiliki karakteristik karena
merupakan bentuk dialektika antara modernitas yang mengusung rasionalitas dan
perilaku mistik masyarakat, terkadang sulit dijangkau oleh akal sehat, yang
bertransformasi dari kepercayaan tradisional. Proses dialektika antara keduanya
dapat menciptakan sebuah sistem budaya baru yaitu industri hiburan yang
bernuansa mistik. Hal ini bukan merupakan ironi, namun menjadi bagian dari
proses akulturasi di Indonesia yang sudah berlangsung sejak lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar